Jika dalam QS asy-Syu’ārā’ 26:83-93 Ibrahim meminta kesalihan untuk dirinya, maka dalam doa yang lain dalam QS ash-Shaffāt/37:100 ia memohon agar dikaruniai anak keturunan yang salih. Dengan demikian, bukan dirinya semata yang dikenal sebagai pribadi yang salih dan masuk dalam jajaran para salihin yang menyandang derajat tinggi sebagai nabi dan rasul, tetapi ia juga menginginkan anak keturunannya kelak juga menjadi rasul seperti dirinya. Untuk itulah dia memanjatkan doanya kepada Allah memohon dikaruniai keturunan yang salih, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ 100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (anak-anak) yang termasuk golongan orang-orang yang salih. Ditinjau dari alur kisah dan konteks pemaparannya dalam al-Qur’an, doa ini ditempatkan setelah Ibrahim berselisih dengan ayahnya dan kaumnya yang menolak beriman. Bahkan mereka kemudian telah berupaya untuk membakarnya, namun Allah menyelamatkan Ibrahim. Ibrahim lalu berkata, “Sungguh aku akan pergi kepada Tuhanku. Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Ṭabarī menafsirkan momentum ini sebagai hijrah Ibrahim dari negeri tempat kaumnya tinggal menuju Tuhan. Ṭabarī menyebut negeri yang menjadi tujuan hijrahnya dengan istilah “tanah suci” (arḍ muqaddasah). Maksud hijrah, menurut Ṭabarī adalah bahwa ia menjauh dari kaumnya dan mengasingkan diri (‘uzlah) untuk beribadah kepada Allah.[1] Ṭabarī mengaitkan momentum hijrahnya Ibrahim dalam ayat ini dengan kejadian yang sama dalam surat al-Ankabut bahwa ketika Ibrahim selamat dari upaya tipu daya kaum yang membakar dirinya, salah seorang kerabatnya yang bernama Lut mengakui kenabiannya. Allah berfirman dalam QS al-Ankabūt/29:26, “Maka Lut membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim, “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku). Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ṭabarī menganggap dua ayat ini sebagai satu momentum yang sama, yaitu saat ketika Ibrahim hendak melakukan hijrah menuju Syam.[2] Pandangan inipun disetujui oleh Khāzin, yang memberikan tafsiran lebih lanjut bahwa ketika Ibrahim tiba di tanah suci itulah, Ibrahim kemudian memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak yang salih.[3] Makna “ anak salih”Ada beberapa persoalan terkait hasil penafsiran ulama tentang anak salih yang diminta oleh Ibrahim dalam doanya tersebut. Secara khusus dalam doanya Ibrahim memang meminta kepada Allah agar dikaruniai anak yang salih. Ṭabarī memaknai doa ini dengan penjelasan sebagai berikut: “Ibrahim berkata, Ya Tuhanku karuniailah aku dari-Mu seorang anak yang akan menjadi bagian dari orang-orang salih yang menaati-Mu, tidak menyalahi-Mu, berbuat kebaikan di atas bumi dan tidak berkuat kerusakan.”[4] Definisi di atas nampak memberi kesan bahwa Ibrahim begitu menginginkan anak yang lahir sebagai penerus keluarganya menjadi seorang nabi. Secara implisit nampaknya Ṭabarī mengakui bahwa Ibrahim memang meminta dianugerahi anggota keluarga yang meneruskan nubuwahnya. Karena kelompok orang-orang salih yang menaati Allah, tidak maksiat kepada-Nya, selalu berbuat kebaikan dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi umumnya diwakili dalam gambaran pribadi para nabi. Kesan yang timbul dari keinginan Ibrahim sebagaimana tertuang dalam doanya ini dapat kita analisis lebih mendalam dengan memperhatikan ungkapan-ungkapan Ibrahim dalam beberapa dialognya dengan Allah. Sebut saja, ketika Ibrahim dianggap lulus dalam menghadapi ujian yang diberikan Allah, seperti dikisahkan dalam QS al-Baqarah/2:124, dan Allah berjanji akan menjadikannya imam bagi seluruh manusia, Ibrahim kemudian berkata: “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Namun Allah hanya menjawab, “Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang berbuat aniaya.” Anak salih yang diminta Ibrahim tidak memiliki identifikasi jelas dalam cerita ini, ketika kelanjutan ayat hanya menyebut, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar (ghulām ḥalīm) (QS aṣ-Ṣaffāt 37:101). Kronik yang dituturkan al-Qur’an seputar kelanjutan kisah Ibrahim dalam surat as-Saffāt tidak memberikan identifikasi yang jelas siapakah anak salih yang dimaksud. Berbeda dengan kelanjutan kisah Ibrahim mengenai hijrahnya ke tanah Syam yang disebut dalam surat al-Ankabūt ayat 26, ayat-ayat selanjutnya menyebut dengan jelas bahwa kemudian Allah menganugerahkan Isḥāq dan Ya’qūb sebagai anak dan cucu keturunan Ibrahim yang dikaruniai status kenabian. Kepada mereka juga Allah memberikan kitab.[5] Di sini, ketiadaan penyebutan nama dalam kisah ini menjadi titik pangkal penyebab perbedaan tafsir di antara ulama. Beberapa karakter penentu yang menjadi ciri utama anak ini memang disebutkan secara jelas, seperti bahwa dalam usianya yang cukup besar ia adalah seorang yang memiliki sifat penyabar dan sangat pasrah dalam menaati perintah Allah yang memerintahkan ayahnya melalui mimpi untuk menyembelihnya sebagai objek kurban. Ketika diketahui bahwa Ibrahim hanya memiliki dua orang anak, maka jawabannya pasti salah satu dari dua nama: Isḥāq atau Ismāʻīl. Khāzin menginventarisasi perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Menurutnya, ulama-ulama ahlu kitab sepakat bahwa anak salih itu adalah Isḥāq. Pendapat yang sama juga dipegangi oleh beberapa orang sahabat nabi seperti Umar RA, Ali bin Abi Talib, Ibn Mas’ūd, dan Abbās b Abdul Muṭallib; para tabi’in dan pengikut-pengikut mereka yang dikenal sebagai ahli tafsir seperti Kaʻb al-Akhbār, Saʻīd b. Jubair, Qatādah, Masrūq, ‘Ikrimah, ‘Aṭā’, Muqātil, az-Zuhrī, dan as-Sudā. Khāzin pun menggarisbawahi bahwa ada dua riwayat yang dibawakan oleh Ibn Abbās yang menyebut bahwa anak tersebut bukan saja Isḥāq, tetapi juga Ismāʻīl. Uniknya, kedua riwayat ini diakui sebagai sama-sama bersumber dari Nabi SAW. Sementara, pendapat yang mengatakan bahwa anak itu adalah Isma’il dipegangi oleh lebih sedikit orang dari kalangan sahabat. Di antara mereka adalah Abdullah b. Salām, al-Ḥasan, dan generasi sesudahnya seperti Saʻīd b. al-Musayyab, ash-Shaʻbī, Mujāhid, ar-Rabīʻ b. Anas, Muhammad b. Kaʻb al-Quraẓī, dan al-Kalbī; bahkan termasuk di dalamnya juga salah satu riwayat ‘Aṭā’ b. Abī Rabāḥ dan Yusuf b. Māhik dari Ibn ‘Abbās.[6] Perbedaan hasil penafsiran dalam menetapkan siapa anak salih yang dimaksud dalam doa Ibrahim dalam QS aṣ-Ṣaffāt 37:100 memang menjadi polemik yang tidak saja berakar dari analisis struktur bahasa, ataupun temuan-temuan fakta sejarah yang memang sangat variatif sehingga menyusahkan proses verifikasi tentang pendapat mana yang lebih kuat di antara keduanya. Proses tafsir juga telah merambah wilayah lain yang agaknya sudah mengarah pada sentimen ras dan aspek politik. Menurut Khāzin, mereka yang berpendapat bahwa anak yang dimaksud adalah Isḥāq mendasarkan pandangannya pada argumen bahwa tidak ada kabar gembira mengenai kedatangan anak yang diungkapkan oleh al-Qur’an, kecuali mengenai Isḥāq, seperti terlihat dalam beberapa contoh dalam QS Hud 11:71, QS aṣ-Ṣaffāt 37:112. Sementara melalui temuan fakta historis, persoalan ini juga dapat dicerna secara jelas dalam surat yang ditulis oleh Ya’qūb kepada Yūsuf. Dalam suratnya kepada Yusuf ketika anaknya tersebut ditemukan oleh saudara-saudaranya masih hidup dan tengah memegang jabatan penting di negeri Mesir ---setelah sebelumnya dianggap hilang karena dibuang dalam sebuah sumur tua oleh saudara-saudaranya ketika Yauus masih kecil--- Ya’qūb menulis, “dari Ya’qūb Israil Allah anak Isḥāq Sembelihan Allah (dhabīhullāh) anak Ibrahim kekasih Allah (khalīlullāh).[7] Semua analisis bahasa dan fakta kesejarahan ini menguatkan anggapan bahwa tafsir tentang siapa anak yang diminta Ibrahim dalam doanya adalah Isḥāq, yang menjadi nenek moyang suku-suku Israil/Yahudi. Sementara itu, para ulama yang berpendapat bahwa anak yang diminta Ibrahim adalah Ismāʻīl, menurut Khāzin,[8] mendasarkan argumen mereka bahwa kabar gembira akan kedatangan Isḥāq muncul setelah selesainya peristiwa penyembelihan, sebagaimana al-Qur’an memuatnya di bagian akhir pada QS aṣ-Ṣaffāṭ 37:112.[9] Hal tersebut berarti yang disembelih bukanlah Isḥāq. Alasan kedua, Ismāʻīl sangat terkenal dengan kesabarannya sebagaimana namanya disebut bersama Idris dan Dzulkifli alaihimassalam dalam QS al-Anbiyā’ 21:85. Kenyatan ini cocok dengan sikap sabar Ismāʻīl yang ditunjukkan dalam menanggapi perintah penyembelihan dirinya, sebagaimana disebut dalam QS aṣ-Ṣaffāt 37:102. Selain itu, Ismāʻīl juga disebut di dalam QS Maryam 19:54 sebagai “pembenar janji” (ṣādiqal waʻd), yang sesuai dengan sikap pasrahnya ketika dikurbankan. Lepas dari dua perbedaaan pendapat dalam tafsir yang sulit disatukan, dalam penjelasannya Khāzin menyertakan sebuah anekdot,[10] ketika khalifah ‘Umar b. Abdul Aziz bertanya kepada salah seorang ulama Yahudi yang masuk Islam saat itu tentang siapakah dari kedua anak Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sebagai kurban. Si Yahudi itu menjawab, “Ismāʻīl, wahai Amirul mu’minin! Itu Ismail kalian, wahai bangsa Arab, karena bapak kalianlah [sebenarnya] yang diperintahkan oleh Allah untuk disembelih, sementara mereka (kaum Yahudi) hanya mengaku-ngaku bahwa itu adalah Isḥāq, bapak mereka.[11] Anekdot ini membuktikan adanya sentimen SARA yang sedikit menyerempet pengaruh politik keagamaan dalam tafsir tentang siapa sebenarnya anak salih yang diminta Ibrahim yang kesalihannya sangat kentara dengan keikhlasannya menjalani perintah berkurban. Sementara itu, dari sisi antropologis, situs lokasi penyembelihan (manḥar) berada di Makkah. Jikapun kemudian ditemukan benda-benda budaya yang terkait langsung dengan peristiwa yang terjadinya telah berlalu ribuan tahun lalu itu, maka bukti-bukti itupun tetap belum bisa memuaskan, kalau tidak bisa dibilang cukup mengecewakan karena telah rusak ataupun hilang akibat bencana. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa terdapat bukti keberadaan sisa-sisa peninggalan dari bagian anggota badan hewan kibas yang disembelih oleh Ibrahim kala itu, ketika pada awal Islam kedua tanduknya terpasang di dinding Ka’bah. Namun, lagi-lagi temuan ini hanya menjadi catatan sejarah saja, ketika Ka’bah kemudian terbakar pada masa pemerintahan Ibn Zubair.[12] Sampai di sini, kita memandang tafsir sebagai bentuk ijtihad, maka masing-masing argumentasi dari dua kelompok yang berbeda pandangan ini agaknya tidak bisa dibuat saling menjatuhkan. Keduanya sama-sama kokoh. Namun, jika kita diharuskan memilih kecenderungan ke arah kelompok mana yang harus dipegangi pandangannnya, maka kerangka kerja hermeneutika mungkin bisa berguna di sini. Kita bisa katakan bahwa Ṭabarī yang lebih mementingkan sumber-sumber riwayat tentu saja akan dengan mudah cenderung kepada pandangan pertama, karena kebanyakan riwayat tafsir menyebut anak salih yang diinginkan Ibrahim lalu diperintahkan Allah untuk disembelih adalah Isḥāq. Di sini, secara sosiologis Ṭabarī juga memiliki kedekatan dengan sumber-sumber biblikal yang kesemuanya sepakat mengaggap anak itu sebagai Isḥāq. Khāzin sedikit berbeda dengan Ṭabarī, karena karakter tafsirnya merupakan campuran antara gaya penafsiran riwayat ---yang juga banyak memakai sumber-sumber Israiliyat--- dan analisis sastra, terutama analisis gaya penuturan bahasa al-Qur’an, bukan melulu grammatika bahasa Arabnya. Dari kronologi pemaparan penjelasan tafsirnya, Khāzin seolah cenderung kepada pandangan yang kedua. Hal ini kentara dari nukilan riwayat tentang pertanyaan al-Asma’ī terhadap Abu ‘Amr b. Al-‘Alā, yang mana ia menjawab bahwa anak tersebut adalah Ismaʻīl. Penulis juga lebih setuju dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa anak tersebut adalah Ismāʻīl, namun dengan cara dan alasan yang sedikit berbeda. Menurut hemat penulis, pokok kerumitan misteri tentang siapa anak salih ini akan sedikit terkuak jika kita menggunakan kronologi kisah Ibrahim yang tertuang dalam Surat aṣ-Ṣaffat mulai ayat 83 hingga ayat 113 dengan menjadikannya sebagai sekuel cerita berurut. Dengan begitu, kita akan dapat menyimpulkan bahwa Isḥāq baru akan lahir setelah berakhirnya peristiwa penyembelihan ini. Jika Khāzin menyebut jarak usia Isḥāq dan Ismāʻīl adalah tiga belas tahun,[13] maka temuan ini sangat sesuai dengan informasi al-Qur’an yang menyebut Ismāʻil telah mencapai masa akil baligh pada saat ia dikurbankan. Wallahu a’lam [1] Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, xxi, 71. [2] Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, xxi, 72; lihat juga xx, 26. [3] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 21. [4] Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, xxi, 72. [5] Lihat QS al-Ankabut 29:26-27. [6] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. [7] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. [8] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. [9] Kisah penyembelihan bermula dari ayat 102 dan berakhir pada ayat 111 surat aṣ-Ṣaffāt. [10] Anekdot dalam tulisan ini dimaknai sebagai cerita singkat tentang sebuah peristiwa, bukan cerita lucu. [11] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. [12] Di antara saksi yang menyebutkan perihal tanduk ini pada awal Islam adalah Ibn ‘Abbās dan ash-Sha’bī. Lihat Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. [13] Khāzin, Lubab at-Ta’wīl, iv, 22. Tulisan ini juga dimuat dalam blog penulis https://ulumulquran2010.wordpress.com/2016/01/31/siapa-anak-ibrahim-as-yang-dikurbankan/ |
Seri Kajian Tafsir > Kajian Tafsir Kisah >