Corak Ilmi dalam Tafsir al-Qur'anul Majid al-Nur

Oleh Moh. Anwar Syarifuddin

Tafsir An-Nur karya Tengku Muhammad Hasbi As-Siddiqy menjadi salah satu karya-karya besar tafsir yang menandai era baru penulisan tafsir Indonesia. Elemen-elemen corak penafsiran ilmiah dalam kitab tafsir ini menarik untuk diuraikan mengingat kitab ini mewakili karya tafsir yang ditulis dalam makna istilah tafsir al-Qur’an yang sebenarnya, bukan seperti kecenderungan para mufassir yang menerbitkan karya-karya mereka selama kurun waktu sepuluh tahun sebelumnya yang lebih mirip karya terjemah al-Qur’an, dan hanya disebut dengan sebutan karya tafsir karena mencantumkan penjelasan singkat dalam bentuk catatan-catatan kaki (footnotes), di bagian bawah dari terjemahan ayat-ayatnya.

Tulisan ini akan mengulas keberadaan elemen-elemen corak penafsiran ilmiah dalam Tafsir an-Nur dalam menjawab permasalahan tentang kedekatan hubungan Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era 1960-an dalam sejarah perkembangan literature tafsir Indonesia dengan cara membandingkan satu karya tafsir dengan karya tafsir lain.

Tafsir an-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddiqy

Tafsir an-Nur yang dirampungkan 30 jilid pada tahun 1961 merupakan salah satu karya yang dirampungkan Hasbi sejak menetap di Yogyakarya sejak tahun 1951 adalah. Pada tahun 1968 ia merampungkan naskah buku Mutiara Hadis yang terdiri dari 8 jilid, dan pada tahun 1971 ia merampungkan naskah buku Koleksi Hadis Hukum (11 jilid, namun bari diterbitkan 6 jilid saja).[1] Sub-bab ini akan membahas sekelumit tentang figur intelektual Hasbi Ash-Shiddieqy, dan karya tafsirnya yang diberi judul Tafsir al-Qur’anul majid An-Nur. Dua hal mendasar tersebut akan diulas sebelum menjelaskan elemen corak penafsiran ilmiah di dalamnya.

Biografi Singkat Hasbi Ash-Shiddiqy

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 dari pasangan al-Haj Muhammad Husen bin Muhammad Su’ud dan Tengku Amrah. Ibunya, Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz yang memangku jabatan Qadi Chik Maharaja Mangkubumi. Sementara itu, ayahnya al-Haj Muhamamd Husen juga menempati jabatan Qadi Chik, sepeninggal mertuanya. Keluarga besar Hasbi merupakan keluarga ulama, pendidik, pejabat negeri sekaligus pejuang kemerdekaan di Aceh, di mana darah campuran Aceh-Arab juga mengalir di tubuh Hasbi, yang bila dirunut silsilah keturunannya merupakan keturunan ketigapuluh tujuh dari nasab Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama. Berdasar fakta ini, Syaikh Muhammad ibn Salim al-Kalali menyarankan Hasbi memakai sebutan Ash-Shiddieqy sejak tahun 1925.[2]

Hasbi hanya mendapatkan kasih sayang ibu kandungnya selama 6 tahun saja. Pada tahun 1910, bertepatan dengan gugurnya Cut Meutia, ibundanya juga meninggal. Dua tahun ia diasuh oleh Tengku Syamsiah yang tidak memiliki putra kandung, namun Tengku Syamsiah pun meninggal di tahun 1912. Saat itu, ayah hasbi sebenarnya sudah menikah lagi, namun ia tidak kembali ke rumah ayahnya. Ia lebih memilih tinggal bersama Tengku Maneh. Ia pun lebih sering bermalam di meunasah, sampai kemudian ia pergi nyantri dari dayah ke dayah. Ia hanya berkesempatan bertemu ayahnya ketika jam belajar atau mendengarkan fatwa saat ayahanya menyelesaikan sebuah perkara.

Sejak muda, Hasbi memang terlatih di bidang dakwah, perdebatan dalam forum-forum diskusi, dan dalam tradisi meuploh-ploh masalah atau lomba penyelesaian  masalah agama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ia sudah akrab dengan persoalan hukum Islam sejak muda.  Ia sudah mengkhatamkan pembacaan al-Qur’an saat usia 8 tahun. Setahun berikutnya ia mulai belajat qiraat, tajwid, dan dasar-dasar tafsir dan fiqih dari ayahnya sendiri. Ayahnya benar-benar menginginkan Hasbi kecil menjadi ulama, sehingga ia menolak saran seorang kontrolir di Lhokseumawe agar memasukkan anaknya ke sekolah gubernemen, khawatir anaknya nanti terpengaruh pemikiran nasrani. Pada usia 12 tahun ia dikirm untuk nyantri selama setahun kepada Tengu Chik di Piyeung untuk belajar bahasa Arab. Ia pun kemudian pindah ke dayah milik Tengku Chik di Blukbayu, setahun kemudian pindah lagi ked ayah Tengku Chik di Blangkabu Geudong. Setahun kemudian ia pun berpindah ke dayah Tengku Chik di Blang Manyak Samakurok selama setahun. Pada tahun 1916, ia melanjutkan ked ayah Tengku Chik di Tanjung Barat yang dipimpin seorang alim kharismatik Idris Samalanga, pemilik dayah terbesar dalam kajian ilmu fikih di Aceh Utara. Hasbi belajar selama 2 tahun di sini, sebelum kemudian pindah ked ayah Tengku Chik Hasan di Kruengkale. Dari tengku terakhir inilah Hsbi memperoleh syahadah sebagai tanda ilmu yang dimilikinya telah cukup dan berhak untuk membuka dayah sendiri. Ia pun kemudian pulang ke Lhokseumawe.[3]

Sekembali ke kampong halaman, Hasbi berkenalan dengan Syekh al-Kalali, yang  menyarankannya pergi ke Surabaya untuk belajar di perguruan al-Irsyad yang didirikan Ahmad Surkati pada 1926. Dengan diantar oleh Syekh al-Kalali, Hasbi berhasil masuk jenjang takhassus selama satu setengah tahun memperdalam bahasa Arab. Pendidikan takhassus di al-Irsyad ini adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh Hasbi, karena selanjutnya hasbi belajar secara otodidak melalui buku-buku.[4]

Pada tahun 1949 selepas menghadiri Kongres Muslim Indonesia XV di Yoogyakarta, hasbi ditawari oleh Menteri Agama KH Wahid Hasyim untuk menjadi tenaga pengajar di PTAIN, membina mata kuliah hadis. Karir akademiknya. Keahliannya di bidang hadis tidak menyurutkan minatnya sejak awal di bidang hukum Islam hingga dipromosikan menjadi Guru Besar dengan ceramah pengukuhan yang berjudul: “Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Pidato pengukuhan ini menandai acara peringatan setahun peralihan PTAIN ke IAIN pada 2 Rabiul Awwal 1381/1961 di Yogyakarta.

Hasbi wafat pada 9 Desember 1975, yang karya-karya tulisnya dibaca oleh kaum muslimin yang berbahasa Melayu, sehingga tidak saja mereka yang berada di Indonesia, tetapi juga mereka yang tinggal di Malaysia dan Singapura.

Metodologi dan Corak Tafsir An-Nur

Judul asli tafsir ini adalah Tafsir al-Qur’anul Madjied “an-Nur”. Terbit dalam 10 jilid, dan setiap jilidnya terdiri dari 3 juz al-Qur’an. Berikut kronologi penyelesian dan pencetakan tiap jilid tafsir An-Nur:

Jilid I untuk pertama kalinya dicetak pada tahun 1960, sedangkan cetakan keduanya tahun 1969.

Jilid II dicetak pertama kali pada tahun 1961, cetakan kedua tahun 1964, dan cetakan ketiga tahun 1970.

Jilid III dicetak perdana pada 1964.

Jilid IV dicetak perdana pada 1964.

Jilid V dicetak perdana pada 1969.

Jilid VI dicetak perdana pada 1964.

Jilid VII dicetak perdana pada 1965.

Jildi VIII dicetak perdana pada 1970.

Jilid IX dicetak perdana pada 1972.

Jilid X dicetak perdana pada 1973.

 

Secara lengkap tafsir An-Nur diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Secara metodologis, tafsir ini ditulis secara kronologis mulai dari al-Fatihah hingga berakhir pada surat an-Nās, dengan manhaj taḥlili atau terperinci. Sementara secara sumber dan analisis tafsirnya, tafsir ini digolongkan pada gabungan antara metode tafsir bil ma’thūr dan tafsir bir-ra’yi. Di antara kitab tafsir ulama terdahulu yang menjadi rujukannya adalah tafsir Ibn Kathir, Tafsir al-Manār, Tafsir al-Qāsimi, tafsir al-Maraghi, dan Tafsir al-Wādiḥ.

Corak tafsir yang dominan nampak dalam tafsir an-Nur karya Hasbi Ash-Shoddieqy adalah corak fiqhi, sebagaimana ia juga sangat konsern dengan masalah hokum Islam. Meskipun begitu, Hasbi selalu berupaya untuk tidak masuk terlalu dalam terhadap persoalan khilafiyah, sehingga ia nampak moderat dalam memandang persoalan mutasyabihat, yang umumnya pertentangan ulama salaf dan khalaf. Sesuai dengan masuknya kecenderungan bir-ra’yi dalam penafsirannya, serta pengaruh dari tafsir al-Manar yang menjadi rujukan, Hasbi juga dikenal cukup rasional dalam memberikan padaangan-pandangan tafsirnya.

Elemen Corak Penafsiran Ilmiah dalam Tafsir an-Nur

Corak penafsiran ilmiah sangat kentara dalam banyak penafsiran Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir al-Qur’anul majid An-Nur. Beberapa tema dapat disebutkan di sini, seperti tafsiran tentang beberapa fenomena alamiah terkait dengan proses penciptaan langit dan bumi, keharaman beberapa jenis makanan dan minuman,

Contoh 1: Tafsir QS 2:164 tentang Fenomena Alamiah

Dalam menjelaskan tentang fenomena alamiah yang dapat diobservasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, bahtera yang berjalan di atas air, hujan dan kehidupan, serta pergerangan angin sangat terlihat bagaimana corak penafsiran ilmiah sangat mendominasi kecenderungan penafsiran Hasbi. Ia menuliskan bahwa dalam kejadian langit dan bumi dijelaskan bahwa planet-planet beredar dengan teratur. Hasbi menyebut keteraturan perjalanan benda-benda langit tersebut sebagai akibat dari “kekuatan daya tarik menarik”.[5] Hasbi juga menyebut fenomena pergantian siang dan malam sebagai konsekuensi dari perbedaan letak geografis sebuah Negara. Selanjutnya, tentang masalah kapal yang dapat berlayar di atas laut disebutkan oleh Hasbi dengan beberapa syarat agar dapat mencapai kesuksesan perjalanannya, seperti dikatakannya bahwa manusia dituntut untuk mengetahui bagaimana keadaan air, bagaimana sifat-sifat air, dan hukum arkhimides. Di samping itu, menurut Hasbi, para nakhoda juga memerlukan pemahaman yang memadai dalam bidang  ilmu Falak dan ilmu Bumi (Geografi).[6]

Dalam menafsirkan terjadinya hujan, Hasbi menyebut secara ringkas tentang teori penguapan air laut, yang menyebabkan terjadinya hujan. Ia juga melanjutkan penjelasannya tentang peran dana fungsi penting air hujan sebagai pembawa kehidupan di jagat raya. Ia menyebut bahwa awal kehidupan bermula dari air. Sementara proses pencptaan bumi dan jagat raya seisinya diingatkannya pula sebagai sebuah gumpalan pada awalnya. Kondisi awal ini berpecah menjadi planet-planet yang sangat banyak, dengan menyebut Teori Pasang yang digagas oleh James Jeffreys, maupun Teori Planetisimal yang digagas Chamberlin Moulton. Sementara tentang angina, Hasbi menyebutnya terjadi disebabkan oleh adanya pergerakan udara.[7]

Contoh  2: Tafsir QS 2:173 tentang Makanan Haram

Ayat ini menerangkan bagaimana Allah mengharamkan beberapa jenis makanan, seperti bangkai, darah dan daging babi. Hasbi menyebut diharamkannya bangkai, baik untuk binatang yang mati dengan sendirinya, atau binatang yang dibunuh, maka bangkainya haram dimakan. Beberapa alasan yang diberikan sebagai alasan keharaman bangkai ini, menurut Hasbi, adalah lantaran bangkai memberikan kemudaratan bagi kesehatan manusia. Memakan sesuatu yang membahayakan kesehatan badan tentunya tentunya sangat dilarang dalam perspektif ilmu kesehatan. Sehingga, dalam memandang kebolehan mengkonsumsi bangkai hewan laut, seperti disuarakan dalam riwayat Ibn Katsir, maka Hasbi setuju bahwa hewan laut tersebut masih boleh dimakan selama belum membusuk.[8]

Sementara terkait dengan keharaman darah untuk dikonsumsi, Hasbi juga menyebut sebagai konsekuensi dari makanan yang memberi mudarat seperti bangkai, begitu juga daging babi yang menurutnya turut memberi dampak bagi timbulnya kemudaratan sebagaimana telah dibuktikan dalam berbagai  eksperimen.[9] Kesemua pandangan di atas mencerminkan sebuah proses tafsir yang pada akhirnya menghasilkan keputusan hukum yang dapat diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, namun semuanya disebutkan Hasbi dalam kerangka penjelasan yang menyertakan argumentasi ilmiah dari sisi ilmu kesehatan.   

Contoh 3: Tafsir QS 2:189 tentang Kaitan Penanggalan dengan Ilmu Hisab

Ayat ini menerangkan didapatinya berbagai hikmah dari perbedaan hilal tentang bulan baru dan penanggalan. Menurut Hasbi, manusia bisa mengetahui bagaimana penanggalan, terutama untuk system kalender komariah dengan ilmu hisab. Bahkan, dalam bentuknya yang paling sederhana seperti pada tradisi rukyat, maka kalender ini juga masih bisa ditentukan tanpa bantuan ilmu Hisab sekalipun.[10]

Contoh 4: Tafsir QS 2:219 tetang Keharaman Khamr

Menurut Hasbi, khamr adalah minuman memabukkan yang berdampak buruk dalam pandangan ilmu kesehatan. Beberapa akibat dari konsumsi khamr yang menjadi dampak buruk kesehatan disebutkan oleh Hasbi di antaranya adalah  merusak nafsu makan, dan bahkan membuat kulit menjadi tampak pucat.[11]

Contoh 5: Tafsir QS 2:233 tentang pentingnya Air Susu Ibu bagi Bayi

Corak tafsir ilmiah terhadap ayat ini menyimpulkan bahwa menurut Hasbi semua dokter sepakat bahwa seorang ibu wajib menyusui anaknya. Karena air susu ibu adalah sebaik-baiknya makanan untuk si bayi.[12]

Contoh 6: Tafsir QS 2:259 tentang Kehidupan dan Kematian

Tafsir atas kisah tentang sebuah kampung yang telah lama mati dan kemudian dihidupkan kembali oleh Allah menjelaskan bagaimana kehidupan dan kematian yang disebutkan sebagai pesan QS 2:259 mengantarkan Hasbi pada sebuah pengakuan bahwa hanya Allah yang bisa mematikan dan menghidupkan kembali seseorang. Menurutnya, percobaan dan eksperimen yang dilakukan ilmuwan dan dokter masa kini membuktikan bahwa kematian bisa saja terjadi pada orang yang hidup untuk waktu yang lama, tetapi tidak memiliki rasa, dan hanya tidur terus menerus.[13] Tafsir ini merujuk pada kondisi koma yang dialami banyak orang akibat matinya organ tubuh tertentu, namun kemajuan ilmu kedokteran mampu memperpanjang kerja otak dan paru-paru manusia.

Penjelasan senada tentang masalah hidup dan mati juga dijelaskan dalam tafsir atas QS 3:27, ketika Allah disebut memiliki kuasa dalam kematian dan kehidupan makhluk. Mengutip pandangan Dr. Abdul Aziz Pasha, menurut Hasbi, Allah mengeluarkan yang mati dari yang hidup dengan makna “menyuburkan yang hidup dengan makan sesuatu yang mati (tak bernyawa).” Pernyaan ini dijelaskan lebih lanjut, “Ahli-ahli ilmu binatang berpendapat bahwa biri-biri memakan tumbuh-tumbuhan, dan sari tumbuh-tumbuhan yang dimakan itu menjadi daging biri-biri.”[14]

Contoh 7: Tafsir QS 6:125 tentang Kaitan Petunjuk Jiwa dengan Ilmu Psikologi

Ayat ini berbicaar tentang bagaimana Allah memberikan petunjuk bagi jiwa manusia. Menurut Hasbi, orang yang fitrahnya rusak akibat syirik dan jiwanya tercemar, maka tentu saja hati dan pikirannya menjadi sempit, sehingga ia kemudian bersikap picik. Golongan orang-orang seperti inilah yang menurutnya sangat sulit menerima seruan dakwah. Ayat ini, menurut Hasbi, merupakan teori ilmiah yang belum lama ditemukan oleh para ahli ilmu.[15]

Contoh 8: Tafsir QS 7:57 tentang Angin dan Hujan

Tafsir tentang hubungan antara pergerakan angina dan hujan ditafsirkan Hasbi sebagai sebuah proses ilmiah seperti dijelaskannya, “Allah mengirim angin yang berisi uap ke wilayah yang kering, lalu menurunkan hujan. Kemudian dari air hujan itu Allah menumbuhkan segala buah-buahan beraneka rasa.”[16]

Contoh 9: Tafsir QS 11:7 tentang Penciptaan Semesta dalam Enam Masa

Teori penciptaan alam semesta dalam enam masa yang disebutkan dalam QAS 11:7 dan beberapa ayat lain dijelaskan Hasbi untuk menegaskan tentang durasi panjang “hari” yang menurut ulama falak telah disebutkan sebagai sesuatu yang berbeda-beda antara kondisi hari di bumi dan kondisi “hari” di planet-planet lain di luar bumi. Dengan menekankan perbedaan makna hari dalam ayat ini, Hasbi menegaskan bahwa teori penciptaan alam yang dikemukakan dalam teori ilmu pengetahuan sejalan dengan teori al-Qur’an. Ia menyebut misalnya Kant, seorang ahli filsafat kebangsaan Jeman dan Laplace yang menjadi saintis berkebangsaan Perancis mengemukakan teori kabut (nevel theori) mengenai susunan matahari. Menurut mereka, matahari, palanet-planet, dan satelit pada zaman dahulu merupakan kabut gas yang berpijar serta mengorbit pada satu sumbu (rotasi). Hasbi menyebut bahwa teori ini dianut orang selama hamper satu abad lamanya.

Namun, pada 1905, Chamberlin dan Moulton menyarankan teori baru, yaitu teori Planetesimal. Teori ini menyebutkan bahwa susunan tata surya kita lebih dahulu merupakan suatu kabut pilin (spiral vormige nevel). Pada kabut pilin ada kelompok-kelompok benda halus, yang dinamakan planetesimal. Sementara itu, ada pula teori lainnya, seperti Jeans dan Jefferys, ahli bintang kebangsaan Inggris mengemukakan Teori Pasang. Teori ini menyebutkan pada suatu ketika terdapat sebuah bintang yang melintas sangat dekat dengan matahari.[17]

Beragam penjelasan tentang teori-teori yang terkait dengan penciptaan alam semesta dalam tafsir Hasbi atas QS 11:7 menegaskan bahwa keragaman teori tersebut menjadi dasar bagi proses penciptaan semesta yang tidak serentak, namun bertahap dan berproses, sehingga dalam perjalanan prosesnya yang lumayan lama, al-Qur’an menegaskan keuniversalan maknanya, tanpa mengurangi kaitan erat hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi temuan peradaban manusia di sepanjang sejarahnya.

Kesimpulan

Keberadaan corak ilmiah dalam tafsir ini seolah menegaskan ideology penyusunnya bahwa upaya rasionalisiasi dalam menafsirkan al-Qur’an yang ditularkan oleh Abduh merupakan agenda yang harus digalakkan sesuai dengan perkembangan karya tafsir dalam merespon temuan-temuan modernitas. Di sini, tugas pokok mufassir bukan lagi menyampaikan isi kandungan al-Qur’an melalui penjelasan ayat-ayatnya yang berkenaan dengan aspek-aspek disiplin ilmu keislaman seperti teologi dan fiqih yang merepresentasi cabang-cabang pokok ilmu agama, tetapi tafsir juga berperan besar dalam menyuarakan pandangan al-Qur’an bagi keselarasan al-Qur’an terhadap kemajuan zaman.

Dimulai dari upaya Mahmud Yunus yang membawa diskursus rasionalisasi pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian secara intensif digodok lebih sistematis melalui kajian-kajian akademis di universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang secara khusus menaruh perhatian kepada pengembangan ilmu-ilmu keislaman (baca PTAIN-IAIN yang kemudian berujung pada perubahan statuta menjadi UIN), corak penafsiran ilmiah dalam tafsir-tafsir Indonesia yang lebih bersifat terperinci dibawakan secara fasih dalam Tafsir al-Qur’anul Madjid an-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy.

Penekanan aspek tafsir pada corak hukum sangat terlihat dalam kitab Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy. Gagasan pembaruah hukum  Islam yang dominan dalam tafsiran Hasbi atas al-Qur’an mulai diterimanya dari perkenalannya dengan gerakan pembaruan al-Irsyad al-Islami. Meski hanya menjalani pendidikan takhassus di al-Irsyad selama satu setengah tahun saja,  ditambah perkenalan dengan ide-ide gerakan itu selama nyantri dari dayah ke dayah di Aceh, namun gagasan itu terpatrii berkat dominasi pengaruh ajaran dan pemikiran Muhammadiyah di Yogyakarta sebagai kota pilihan tempat tinggalnya ketika hijrah ke tanah Jawa. Di sini, di samping dominasi aspek hukum yang menandai corak penafsirannya, elemen-elemen corak ilmiah, meski menampilkan bentuknya dalam bentuk yang masih sangat sederhana namun diterima keberadaannya secara baik dan bertumbuh dalam penafsiran Hasbi atas al-Qur’an melalui lingkup pergaulan akademik di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Wallahu a’lam.



[1] Lihat Nouruzzaman, Fiqh Indonesia, h. 265-281.

[2] Nouruzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia (Penggagas dan Gagasannya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1977, h. 7.

[3] Nouruzzaman, Fiqh Indonesia, h. 13-14.

[4] Nouruzzaman, Fiqh Indonesia, h. 15-16.

[5] Masalah ini mustinya termasuk pada ranah Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains, namun Hasbi salah menyebutnya sebagai ilmu Geografi atau Ilmu Bumi yang termasuk dalam golongan Ilmu Pengetahuan Sosial. Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 257).

[6] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 257-258).

[7] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 259).

[8] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 259).

[9] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 270-271).

[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 310).

[11] Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 365).

[12] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 402).

[13] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, ?).

[14] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: i, 565).

[15] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: ii, 1306).

[16] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: ii, 1415).

[17] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2000: iii, 1873 – 1875).

Comments