Corak Ilmi dalam Tafsir al-Azhar

Oleh Moh. Anwar Syarifuddin

Gagasan-gagasan pembaruan Islam yang digaungkan oleh Muhammad Abduh di Mesir pada akhir abad ke-19 telah banyak mempengaruhi pola pemikiran yang berkembang di dunia Islam pada masanya. Mesir dengan al-Azhar sebagai pusatnya masih menjadi salah satu tujuan bagi para pelajar dunia Islam, dan khususnya Indonesia, dalam menimba kajian Islam, beberapa pusat studi lain seperti Haramain dan Hadramaut. Dalam kaitan ini, pengaruh gagasan pemikiran Abduh juga diklaim sebagai hasil pemikiran yang melahirkan penamaan Tafsir al-Azhar melalui kesamaan prinsip yang dipegangi oleh organisasi Islam Muhammadiyah ditambah dengan meningkatnya intensitas hubungan internasional Hamka dengan elemen-elemen pemerintah Mesir dan kegiatan Mu’tamar al-Islami, juga dukungan para alumni Universitas al-Azhar yang ia kenal. Di sinilah, pengaruh Mesir dikaitkan, meski kekentalan pengaruh Abduh agak kurang terlihat dalam isi kandungan kitab tafsirnya sendiri.

Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah menjadi salah satu karya penting dalam perkembangan literatur tafsir Indonesia selama kurun dasawarsa 1960-an. Periode ini  ditandai dengan munculnya karya-karya tafsir yang berkarakter lebih terperinci yang menandai era baru penulisan tafsir Indonesia. Elemen-elemen corak penafsiran ilmiah dalam tafsir Hamka cukup menarik untuk diuraikan, mengingat tafsir ini mewakili karya tafsir yang ditulis dalam makna istilah tafsir al-Qur’an yang sebenarnya, bukan seperti kecenderungan para mufassir periode sebelumnya yang selama kurun waktu sepuluh tahun hanya menerbitkan karya-karya yang lebih mirip karya terjemah al-Qur’an. Dalam hal ini, karya-karya penafsiran sebelumnya hanya layak disebut karya tafsir karena mencantumkan penjelasan singkat dalam bentuk catatan-catatan kaki (footnotes), di bagian bawah dari terjemahan ayat-ayatnya. Tulisan ini akan menggali keberadaan elemen-elemen corak penafsiran ilmiah dalam tafsir al-Azhar dalam rangka merangkai jawaban bagi permasalahan tentang kedekatan hubungan Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era 1960-an dalam sejarah perkembangan literatur tafsir Indonesia.

Tafsir al-Azhar Karya HAMKA

Tafsir al-Azhar karya Hamka terdiri dari 30 jilid, yang masing-masing jilid berisi satu juz al-Qur’an. Menafsirkan al-Qur’an memang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar ahli memahami bahasa Arab, asbab nuzul ayat, dan persyaratan lain yang terkait. Dengan sikap meredah Hamka mengakui bahwa ia sendiri pun hanya memahami persyaratan ala kadarnya saja dari syarat-syarat yang dibutuhkan bagi seorang mufassir.[1] Sub-bab ini membahas karaketristik dan metodologi Tafsīr al-Azhar, termasuk profil dan biografi singkat mufassirnya. Kedua pembahasan tersebut diperlukan untuk dapat menilai arti penting tafsir ini dalam perkembangan penulisan literature tafsir Indonesia sebelum membahas keberadaan elemen-elemen corak penafsiran ilmiah yang dikandungnya.

Biografi Singkat Hamka

Hamka lahir di Sungai Batang Maninjau pada tanggal 17 Februari 1908 M, bertepatan dengan tanggal 14 Muharram 1326 H. Ia diberi nama Abdul Malik, tapi ketika dewasa lebih dikenal dengan nama HAMKA, yaitu kepanjangan dari nama lengkapnya: (H)aji (A)bdul (M)alik bin Abdul (K)arim (A)mrullah. Ayahnya Abdul Karim dijuluki pula dengan sebutan Haji Rasul. Ia adalah seorang ‘alim terkenal di Sungai Batang Maninjau sebagai pembawa faham-faham pembaruan Islam di Minangkabau. Ibunya bernama Siti Safiyah anak dari Bagindo nan Batuah, yang di kala mudanya dikenal sebagai guru tari, nyanyi, dan pencak silat.[2] Dari kakeknya inilah di waktu masih kecil Hamka selalu diperdengarkan pantun-pantun yang bermakna mendalam.

Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca al-Quran di rumah orang tuanya saat mereka pindah dari Batang Maninjau ke Padangpanjang pada 1914.[3] Setelah usia tujuh tahun, Hamka kecil dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Pada tahun 1916 Hamka didaftarkan pada Sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang Panjang yang didirikan oleh Zainuddin Labai el-Yunusi, dan masuk sekolah pada petang hari. Jadwal belajarnya sangat padat kala itu. Hamka kecil pergi ke sekolah desa pada pagi harinya, sore hari pergi ke Sekolah Diniyah, dan pada malam hari belajar di surau bersama teman-temannya.

Pada tahun 1918, Surau Jembatan Besi, tempat ayahnya memberikan pelajaran agama diubah namanya menjadi sebuah madrasah, yang kemudian dikenal dengan nama tenarnya, Thawalib. Hamka akhirnya dimasukkan ke madrasah Thawalib, dan berhenti dari sekolah desa, karena orang tuanya menghendaki agar anaknya kelak menjadi ulama,. Keharusan menghafal membuat Hamka cepat bosan dan malas belajar. Meskipun demikian setiap tahun ia tetap naik kelas, hingga menduduki kelas empat.[4]

Pada 1923 Hamka mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, ayahnya bercerai dengan ibunya. Hamka pun niat berangkat ke tanah Jawa. Namun di Bengkulen, ia terkena wabah cacar. Dua bulan lamanya Hamka di pembaringan. Setelah sembuh, ia kembali ke Padangpanjang dengan wajah yang penuh bekas cacar. Setahun kemudian, yakni 1924 Hamka baru berangkat ke tanah Jawa.[5]

Pencarian ilmu di tanah Jawa dimulai dari kota Yogyakarta. Lewat pamannya yang bernama Ja’far Amrullah, Hamka kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, yang darinya Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Quran. Ia juga bertemu dengan HOS Cokroaminoto. Hamka juga berdialog dengan tokoh-tokoh penting lainnya seperti, Haji Fachruddin dan Syamsul Ridjal yang menjadi tokoh Jong Islamieten Bond.[6]

Kota Yogyakarta telah memberikan sesuatu yang baru bagi kesadaran keagamaan Hamka. Ia mengaku bahwa Islam adalah agama yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.[7] Hamka kemudian berada di Pekalongan selama lebih kurang enam bulan. Di sana ia bertemu dengan A.R. Sutan Mansur, menantu ayahnya yang menetap di Pekalongan. Hamka memperoleh “jiwa perjuangan” dari A.R Sutan Mansur ini. Hasil positif yang didapat dari petualangan Hamka menimba ilmu di tanah Jawa, pada usia 16 tahun Hamka telah mulai bisa berpidato, dan pada usia 17 tahun ia kembali ke Minangkabau.

Di awal tahun 1927 dia berangkat dengan kemauannya sendiri ke Makkah, sambil menjadi koresponden harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura (Langkat), dan membantu penerbitan“Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta. Ketika usia 21 tahun, kembali dari perjalanan ke Makkah, ia dikawinkan dengan Siti Raham yang saat itu masih berusia 15 tahun.

Tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta. Kemudian pada 1952 diangkat oleh pemerintah menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari Kementrian PP dan K—sekarang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar dan menjadi penasihat pada Kementrian Agama.[8]

Di samping keasyikan mempelajari “Kesusasteraan Melayu Klasik”, Hamka pun bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, sebab bahasa asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. Slamet Mulyono, ahli tentang ilmu kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka sebagai “Hamzah Fanshuri Zaman Baru”.[9] Karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah, maka pada permulaan 1959 Majelis Tinggi University Al-Azhar Kairo memberinya gelar Ustadziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa).[10]

Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan Al-Quran dengan nama Tafsir Al-Azhar. Sebagian besar terselesaikan selama di tahanan dua tahun tujuh bulan (Hari Senin 12 Ramadhan 1385/27 Januari 1964-Juli 1969). Sabtu, 6 Juni 1974 Hamka juga mendapat gelar Doktor dalam kesusateraan di Malaysia.[11] Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia pada Mei 1981. Tidak lama setelah pengunduran diri ini, Hamka meninggal pada dunia pada bulan Juli 1981 bertepatan dengan bulan Ramadan 1401.

Metodologi dan Corak Tafsir al-Azhar

Gerak kreativitas Hamka dimulai dari usia sangat muda, 17 tahun (1925) hingga menjelang dekat ke akhir hayatnya, dalam usia 73 tahun (1981). Dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka telah menulis 84 judul buku, bhakan ada pula yang menyebutnya telah menulis sebanyak 113 buku meliputi bidang agama, filsafat, dan sastra.[12]

Gagasan menyusun Tafsir al-Azhar berasal dari kuliah Subuh yang disampaikan Hamka di Masjid Agung Al-Azhar, sejak 1959. Hamka menulis tafsir ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958. Akan tetapi, ternyata penyusunan sebuah tafsir al-Qur’an membutuhkan waktu lama, sehingga sampai pada bulan Januari 1964 apa yang ia kerjakan belum juga menemui kata tamat. Tafsir ini diberi nama Tafsir Al-Azhar, sebab tafsir ini timbul di dalam Masjid Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syaikh Jami’ Al-Azhar, Mahmoud Syaltout.[13]

Selain menulis, Hamka juga memiliki kesibukan mengajar. Dia juga menjadi dosen pada beberapa Perguruan Tinggi, baik di Jakarta ataupun di daerah. Dia menjadi guru besar di Pusraoh (Pusat Pendidikan Rohani) Islam Angkatan Darat. Dengan banyaknya aktivitas yang ia miliki, Hamka bahkan sempat merasa pesimis untuk bisa menyelesaikan penulisan tafsir ini. Ia seolah menuliskan unek-uneknya ini, “Kalau begini halnya, niscaya tafsir ini tidak akan selesai dalam masa 20 tahun. Padahal umur bertambah tua juga. Sebab, jika dihitung-hitung dari segi umur pada waktu itu, yaitu akhir tahun 1963, mungkin tafsir ini tidak akan selesai sampai saya meninggal”.[14]

Pada hari Senin, 12 Ramadhan 1383, bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka seperti biasa mengadakan pengajian mingguan di Masjid Agung Al-Azhar terhadap kira-kira 100 orang kaum ibu, membahas QS Al-Baqarah 255, atau ayat Al-Kursi. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan Hamka kembali ke rumah melepas lelah sejenak  menunggu datangnya waktuDzuhur.[15] Pada saat istirahat itulah empat orang menjemput Hamka untuk ditahan, setelah sebelumnya menyerahkan surat tugas penahanan. Setelah empat hari dalam tahanan, barulah Hamka diperiksa dengan tuduhan: merencanakan membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, hendak mengadakan kudeta, menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.[16]

Inilah rencana Tuhan yang mengabulkan permohonan diri Hamka agar bisa konsentrasi menulis dan merampungkan penyusunan tafsir ini. Allah rupanya menghendaki agar ia dipenjara, sehingga terpisah dari anak istri, dan segala aktivitas yang menyibukkannya bersama masyarakat selama dua tahun, sehingga waktu kosongnya di rumah tahanan ini dapat digunakan Hamka menyelesaikan pekerjaan berat itu, menafsirkan Al-Quran. Dengan petunjuk dan hidayah Allah, beberapa hari sebelum dia dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al-Quran 30 Juz telah selesai. Semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih, Hamka mempergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.[17] Hamka merasa bersyukur, meskipun harus melewati hari-harinya di balik terali besi.

Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia Hamka hidup terpencil. Padahal dalam masa terpencil itulah Beliau dapat berkhalwat dan beribadah lebih khusu’. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat digunakan buat ibadah, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat digunakannya buat mengarang, tafakkur dan muthâla’ah.25 Demikianlah, penjara itu membawa hikmah yang besar buat Hamka, pekerjaan menulis Tafsir Al-Azhar telah selesai.

Secara metodologis, tafsir al-Azhar tergolong ke dalam manhaj tafsir gabungan antara tafsir bil ma’thūr dan tafsir bir ra’yi. Corak tafsirnya cukup lengkap, karena tidak saja menyajikan corak kalam maupun hukum, tetapi juga corak sejarah dan corak ilmiah yang menguraikan isi kandungan al-Qur’an dari sudut pandang ilmu-ilmu non-keilmuan agama. 

Elemen Corak Penafsiran Ilmiah dalam Tafsir al-Azhar

Hamka adalah seorang mufassir yang memiliki wawasan keilmuan yang lumayan luas, sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dalam menjelaskan fenomena alamiah dan uraian-uraian saintifik terkait penafsiran corak ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, Hamka berupaya menjelaskannya melalui ungkapan-ungkapan yang sederhana, sesuai dengan gaya pemaparan tulisannya yang bernada dakwah. Di sini, ayat-ayat al-Qur’an juga dijelaskan makna dan kaitannya melalui analogi teknologi sederhana yang dipahaminya. Dengan begitu, ulasan tafsirnya bisa dipahami banyak lapisan kalangan yang memang membutuhkan bahan-bahan bacaan, utamanya buku-buku tafsir, yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Contoh 1: Tafsir QS 27:18-19 tentang Semut

Hamka menjelaskan tafsiran tentang binatang semut dalam kisah Nabi Sulaiman AS dengan memberi paparan yang bersifat informatif mengenai jenis semut yang terkait dengan kisah itu. Hamka menyebutnya dengan nama semut Selimbada atau semut Kerangka yang sengatannya sangat pedih dan sakit. Hamka mengatakan, bahwa jika seseorang hendak menangkap jenis semut ini, maka semut-semut itu akan membuka mulut untuk bersiap menggigit. Menurutnya, gigitan semut ini akan disertai dengan bisa yang sengatannya berkarakter berani, sehingga semut yang sangat kecil pun tidak akan merasa takut berhadapan dengan makhluk besar seperti manusia. Di sinilah, menurut Hamka, Sulaiman tersenyum melihatnya, lalu tertawa seraya mengungkapkan doa syukurnya. Hamka kemudian menjelaskan ciri-ciri fisik semut: memiliki spion yang berfungsi untuk mengintip dan mengamati kalau-kalau ada bahaya yang mengancam, lalu mereka saling memberi peringatan kepada sesamanya supaya lekas menyingkir.[18]

Dalam menafsirkan ayat ini, Hamka juga menjelaskan satu jenis semut yang disebut Marabunta, yang hidup di Afrika dan bisa memusnahkan segala benda yang dilaluinya apabila mereka sedang berombongan melewati sebuah wilayah. Ketika di perjalanan mereka menemukan kambing, misalnya, maka kambing itupun akan mati tinggal tulang, karena semua anggota koloni semut akan memakan dan menggerogoti dagingnya. Bahkan manusia pun bisa mati dimakan semut-semut itu. Hamka merujuk kitab Tafsir al-Jawāhir karya Syaikh Ṭanṭawī Jauharī sebagai rujukan ulasan ini, seraya menyebut ihwal kehidupan semut dan juga memuat gambar-gambarnya. Ia juga menyebut bahwa ada juga semut yang kekerasan sarang yang dibuat dari tanah oleh kelompok binatang ini dapat lebih kuat dibanding tembok beton![19]

Dari contoh penafsiran ilmiah di atas, dapat dikatakan bahwa Hamka menafsirkan semut dalam kisah Sulaiman sebagai wahana untuk memberi ulasan panjang tentang semut berdasarkan informasi yang didapatnya. Memanfaatkan kitab tafsir ilmi seperti Tafsir Jawahir dan bahan-bahan bacaan lainnya, dalam menafsirkan binatang semut yang disebut dalam al-Qur’an dalam kisah Sulaiman, Hamka agaknya ingin menunjukkan bahwa corak ilmiah yang ditunjukkan dalam tafsirnya memberi indikasi bahwa satu kata kunci, seperti “semut” (namlah) dalam al-Qur’an dapat dicarikan tafsirnya dengan sangat luas dan bercorak ilmiah, lantaran al-qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Contoh 2: Tafsir QS 27:82 tentang Dābbah (xx, 27).

Menjelaskan tafsir ayat ini, Hamka merujuk penafsiran Fakhr al-dīn al-Rāzī dalam tafsir Mafātiḥ al-Ghaib, yang menjelaskan gambaran mitologi tentang dābbah dengan ciri-ciri yang  memiliki panjang 60 hasta dan tingginya hingga mencapai awan. Bentuknya berkaki empat, namun seperti burung yang berbulu panjang dan bersayap dua. Kepalanya seperti banteng, bermata seperti babi, bertelinga gajah, bertanduk rusa, berdada singa, berwarna harimau, berkuku sapi betina, berekor domba, dan bertelapak kaki seperti unta. Binatang itu akan keluar berangsur-angsur dari dalam bumi yang dalam tiga hari baru akan keluar sepertiganya saja. Binatang ini akan keluar dari masjid terbesar di bumi, yaitu Masjid al-Haram, dan bahkan disebut akan keluar tiga kali dari tiga tempat berbeda. Kesemua gambaran mitologi tersebut, menurut Hamka, seperti dikutip dari al-Razi, adalah gambaran tafsir yang tidak berdasar, lantaran tidak ditemukan dalilnya di dalam al-Qur’an. Hamka juga menyebut cerita sejenis dari Tafsir Ibn Kathir, yang kesimpulannya tidak didapati dalam kitab-kitab hadis yang sahih.[20] Walhasil, menurut Hamka dalam membahas tafsir tentang dābbah hanya ada tafsiran-tafsiran yang ganjil menggambarkan mitologi binatang yang akan keluar pada hari Kiamat, yang dasar argumentasinya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu riwayat hadis yang berkualitas hasan sahih dari riwayat Muslim, menurut Hamka, tidak menggambarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab tafsir, dan hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui sifat-sifat dābbah itu.

Tentang tafsir dābbah yang dianggap mengada-ada tersebut, Hamka menilainya sebagai gambaran fiktif yang ia samakan seperti gambaran-gambaran fiksi-ilmiah dalam film-film Amerika, yang disebut-sebut sebagai efek negatif penggunaan energi nuklir secara excessive, sehingga membangkitkan binatang-binatang purbakala yang konon digambarkan tengah bersembunyi di balik bumi. Ada banyak jenis binatang dalam film fiksi-ilmiah semacam ini, seperti semut Marabunta, atau berbagai jenis virus yang menjadi alat senjata biologis. Di sini, meski menolak jenis penafsiran fiksi-ilmiah tentang dābbah, namun ulasan yang dipaparkan Hamka seolah ingin merangkai pesan yang disampaikan dalam ayat al-Qur’an bahwa  ---apapun bentuknya karena tidak ada riwayat sahih yang bisa dipercaya, suatu saat nanti menjelang terjadinya Kiamat dābbah atau binatang melata yang keluar dari dalam bumi akan berkata dan memberikan peringatan kepada umat manusia. Berita yang bersifat futuristik ini, dalam pandangan Hamka, dianggap sebagai sesuatu hal yang memungkinkan, sebagaimana gambaran-gambaran fiksi-ilmiah juga cenderung memberikan gambaran futuristik sejenis.[21]

Contoh 3: Tafsir QS 27:88 tentang Fenomena Gunung

Fenomena gunung-gunung tinggi yang menjulang langit dan bukit-bukit yang berada di bawahnya, meskipun nampak seperti terpaku di situ, namun gunung-gunung itu digambarkan dalam ayat tengah berjalan sangat kencang laksana awan. Hanya saja, menurut Hamka, gunung-gunung itu tidak terlihat seperti berjalan, karena gunung-gunung itu sedang menumpang di atas “bahtera” bumi, di mana gunung-gunung dan bukit-bukit itu terpancang dan terpasak kuat di atas permukaan bumi itu.[22] Tafsiran di atas, dapat digolongkan ke dalam tafsiran yang bersifat ilmiah, melalui analogi dan rasionalisasi terhadap fenomena alamiah yang digambarkan oleh ayat al-Qur’an. Selain mendasarkan penjelasan tafsir ilmiahnya  pada pergerakan rotasi bumi, tafsiran Hamka juga menyajikan penjelasan yang dikaitkan dengan analogi melalui penakwilan teknologi sederhana, ketika ia mengkiaskan kondisi gunung-gunung yang berjalan kencang itu dengan pengalaman pribadinya saat tengah berbiduk semasa kecil bersama nenek dan kakeknya menyusuri Sungai Sibaruh. Menurut Hamka, pandangan yang didapatkan dari perspektif seseorang yang tengah berada dalam perahu menegaskan fenomena serupa, bahwa ia seolah-olah berdiam bersama seisi perahu yang menumpang bersama. Seseorang akan merasa bahwa semua yang berada di atas perahu seolah berdiam saja, padahal tanpa terasa mereka semua tengah berjalan cepat menyusuri sungai.[23]

Fenomena berperahu semasa kecil dalam tafsiran di atas ditambahi dengan analogi pada contoh lain dengan ilustrasi teknologi yang lebih canggih dan memungkinkan dikenal semua orang menggambarkan ayat dengan kondisi yang dialaminya ketika naik kereta api, atau bahkan ketika berhaji naik pesawat tebang. Dari kedua fenomena modern itu, Hamka menegaskan argumennya, bahwa dari perspektif orang yang berada dalam kendaraan yang tengah bergerak, semua seolah berjalan di tempat, tetapi ketika ia melongok ke jendela, barulah ia merasa bila kendaraan yang ditumpanginya benar-benar bergerak maju dengan sangat cepat.[24] Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa corak tafsir ini dapat dikategorikan ilmiah, ketika membandingkan fenomena berjalannya gunung-gunung dengan kajian ilmiah dalam perputaran bumi mengelilingi matahari, dan bahkan menerangkannya lebih jauh melalui pengamatan teknologi pengangkutan mulai dari yang sangat sederhana, hingga yang lebih rumit. Walhasil, Hamka sampai pada kesimpulan dalam menafsirkan ayat ini bahwa menurutnya, Allah telah mengatur perjalanan alam semesta, bahkan sampai pada hitungan rinci tentang detik, menit, dan ukuran jam yang sangat presisi.[25]

Contoh 4: Tafsir QS 28:71 tentang Keteraturan Alam Raya

Konteks ayat ini menggambarkan suatu hari ketika matahari tidak beranjak dari pertengahan langit, yang dalam pandangan Hamka ditafsirkan dengan istilah ilmiahnya “Ketika bumi tidak berputar mengedari matahari?” Menurut Hamka, ayat ini merupakan perintah untuk berfikir bahwa Allahlah yang mengadakan malam, dan ayat ini juga merupakan perintah agar manusia mencari tahu kenapa semua keteraturan ini terjadi. Menurut Hamka, manusia yang berpengetahuan akan sampai pada kesimpulan bahwa keteraturan yang ada di alam raya ini: yaitu peredaran bumi mengelilingi matahari, dan rotasi bumi yang menyebabkan terjadinya siang dan malam tidak mungkin dapat diubah lagi. Tidak akan ada kekuasaan Tuhan lain yang sanggup menghentikan putaran cakrawala. Oleh karena itu, menurut Hamka, pengetahuan manusia tentang peredaran alam ini bahwa bulan mengedari bumi dan bumi mengedari matahari  dengan perhitungan (hisab) yang sangat teliti dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun sehingga jelas terjadinya gerhana bulan dan matahari, maka jelas sudah hanya kekuasaan Tuhan yang mengaturnya. Allah berkuasa mutlak terhadap semua ketetapan yang terjadi di alam raya ini.[26] Di sini, Hamka memakai temuan-temuan ilmiah untuk menguatkan pesan-pesan al-Qur’an, bahwa ia bersesuaian dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan semua bukti ilmiah itu sesuai dengan pesan utama Islam tentang keesaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang mengatur pergerakan alam semesta ini dalam genggaman pengetahuannya.

Contoh 5: Tafsir QS 29:30 tentang Awal Penciptaan Alam dan Nasibnya ketika Berakhir

Hamka menjelaskan ayat ini sebagai persoalan awal penciptaan dengan mengajak pembaca merenungkan permulaan penciptaan dari sebutir telur. Menurutnya, jika sebuah telur dipecahkan, seketika telur itu mulai keluar dari ekor induknya, maka yang terlihat hanya kuning diselimuti putih telur. Kalau direbus, maka yang kuning itu jadi tepung kuning, dan putih telur yang membalutnya akan jadi beku, bisa dimakan. Tetapi jika telur tersebut dierami oleh induk ayam, dalam ukuran sekian hari, maka zat yang terkandung di dalam telur itu akan berubah. Putih dan kuning telur hilang dan berganti dengan buku, daging, mata, kaki, paruh, dan bagian tubuh ayam lainnya. Begitulah tahapan penciptaan dari sebuah telur sampai kemudian menjadi ayam.

Dalam beberapa ilustrasi lain, Hamka menjelaskan: dalam biji mangga, yang kerap dibuang setelah memakan buahnya, kelak akan menjelma menjadi permulaan hidup. Biji yang bertemu tanah akan memecah kulit luarnya, lalu memunculkan dua helai daun, yang sebelumnya hanya berupa isi dari biji itu. Dari tengah antara dua daun itu tumbuh pucuk, naik ke atas, begitu pula akar yang tumbuh menjuntai ke bawah. Begitulah, hingga tumbuh pohon mangga yang subur. Sementara itu, manusia diciptakan dari tetesan air kama atau mani yang berpadu satu, dari diri seorang perempuan dan seorang laki-laki, terkumpul di dalam rahim peranakan perempuan. Dalam sekian hari dinamai nuṭfah (segumpal air pekat), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah), kemudian menjadi mudghah (segumpal daging), yang kemudian tumbuh tulang-tulang. Dagingnya membalut tulang, dan kemudian sekira 3 x 40 hari diberikan nyawa dan lahirlah ke dunia menjadi seorang manusia setelah 9 bulan 10 hari.[27]

Ketiga fenomena itu merupakan penjelasan yang sangat mendasar atas pesan utama yang diberikan Allah di ayat selanjutnya terkait dengan perintah memperhatikan penciptaan awal (al-khalq al-awwal). Menurut Hamka, memperhatikan penciptaan awal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah pekerjaan sama seperti yang dilakukan oleh para peneliti bumi, pencari fosil, pencari reruntuhan kota-kota dan peradaban kuno seperti Mohenjo Daro, Parsepolis, Pompeyi, Athena kuno, Baalbek, dan sebagainya. Menurut Hamka, asal mula penciptaan alam semesta ini harus diselidiki: sudah berapa juta tahun usia bumi ini, dan sudah berapa juta tahun kehidupan hadir di atas bumi? Seolah memberitahu pembaca tentang kemajuan iptek pada masanya, Hamka menjelakan bahwa sejak akhir dekade 1960-an manusia bahkan telah sampai ke bulan, membawa bebatuan bulan untuk diselidiki di laboratorium. Tujuannya adalah untuk mengetahui sudah berapa juta tahun umur bulan, dan dengan bebatuan itu sudah diketahui pula bahwa di bulan tidak ada kehidupan.[28]

Ulasan Hamka masih berkutat pada pertanyaan-pertanyaan yang menandai konsern dan perhatiannya yang sangat tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa tafsir itu disusun, yaitu awal tahun 1960-an hingga lengkap dan diterbitkan pada decade 1970-an. Tidak banyak jawaban-jawaban yang bisa disajikan oleh Hamka sendiri sebagai seorang ulama dan pujangga, juga pembaca buku dan pendengar kabar-kabar yang memberi banyak informasi tentang kemajuan dunia. Ia menuangkan semua informasi yang didapatnya pada masanya dalam tafsirnya yang ia tuliskan pada masa itu. Mungkin menjadi tugas penulis-penulis tafsir di masa sesudahnya untuk memerinci jawaban terhadap persoalan-persoalan akademik yang dituangkan oleh Hamka, ketika kolaborasi ulama-ilmuwan berpadu menyusun kitab tafsir agar bisa menjawab problematika ilmiah yang dihadapi di setiap masanya. Dengan begitu, penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’an dapat terus disesuaikan dengan perkembangan kemajuan iptek di kurun-kurun waktu selanjutnya, sehingga umat Islam sebagai pembaca tafsir dapat selalu mengupdate informasinya.

Contoh 6: Tafsir QS 29:41 tentang Laba-laba

Menafsirkan tamsil rumah laba-laba, Hamka justru memberi penjelasan ayat ini mulai dari karakteristik rumah laba-laba, yang baru kemudian dilengkapi dengan makna tamsilannya. Hamka memulai penjelasannya dengan mengatakan bahwa laba-laba membuat rumahnya dari zat semacam air liur bergetah yang keluar dari dirinya sendiri, lalu direntangkannya keliling badannya berbentuk seperti jala. Di sanalah ia bergantung di tengah-tengahnya, menunggu binatang kecil atau serangga yang ingin mendekat, lalu terjerat oleh benang-benangnya itu. Menurut Hamka, rumah laba-laba sangatlah rapuh, lantaran kekuatannya hanya pada getah yang akan menjerat mangsa-mangsa kecil yang menjadi makanannya. Jika mangsa itu besar, maka kemungkinan rumah dan jaringnya sendirilah yang akan rusak.[29]

Pesan ayat ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan disebutkan oleh Hamka bahwa di zaman modern ini banyak orang yang terpukau oleh kekuatan ilmu, sains, kemajuan penelitian ilmiah dan teknologi. Tetapi setelah berjalan sekian kurun waktu akan terasa bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah memberikan pengharapan yang diharapkan sebelumnya. Di sinilah alasannya kemudian orang mulai berlindung di bawah kekuatan senjata, seperti di zaman hidup Hamka yang berkecamuk perang Vietnam, di mana kekuatan senjata Amerika Serikat tidak berdaya, ketika mereka dikalahkan semangat kaum pribumi yang bergerilya. Di sini, menurutnya, kekuatan yang mengandalkan manusia tidak lebih rapuh dibandingkan dengan sarang laba-laba, sedangkan kekuatan sejati hanyalah kekuatan Allah saja.[30] Di sini, Hamka dengan jelas merangkai tafsir ilmiahnya untuk menegaskan pesan-pesan tauhid yang menjadi prinsip utama al-Qur’an.

Contoh 7: Tafsir QS 30:20 tentang Penciptaan Manusia dari Tanah

Corak penafsiran ilmiah dalam tafsir ini terlihat dari bagaimana Hamka menafsirkan proses pencipaan manusia dari unsur tanah. Hamka menyebutkan,

 “…Hakikat manusia pertama kalinya adalah tanah. Guliga diri manusia diambil dari tanah. Begitu juga anasir darah yang mengalir dalam diri manusia diambil dan terjadi dari tanah. Sayur mayur yang dimakan manusia, protein, dan mineral lain berasal dari tanah. Semua anasir makanan itu dicerna di dalam perut dan dialirkan dalam darah ke seluruh tubuh.”[31]

Dari darah segar manusia yang beredar di dalam tubuhnya, menurut Hamka, itu menimbulkan mani segar, yang melalui persetubuhan bercampur dan bersatu dalam rahim kaum perempuan menjadi nuṭfah, segumpal air beku, kemudian menjadi ‘alaqah, segumpal darah beku, lalu berproses menjadi mudghah, segumpal daging yang kemudian membungkus tulang belulang.[32]

Nampak jelas dalam tafsiran ayat ini, bagaimana secara sederhana Hamka memberikan penjelasan bahwa bila Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah, maka selaku keturunan Adam, manusia yang hidup hingga saat ini pun sangat bergantung dengan unsur-unsur tanah. Sebuah penjelasan sederhana, diramu dengan fenomena kejadian manusia yang mencerminkan sisi ilmiah kandungan ayat-ayat al-Qur’an menghasilkan corak penafsiran ilmiah yang dapat dicerna oleh khalayak pembaca yang memang tengah menanti berita-berita tentang kaitan isi kandungan al-Quran dengan kemajuan iptek pada masanya. Terlebih lagi, belum banyak karya tafsir yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu yang menjadi asal dari bahasa Indonesia, karena kebanyakan literature tafsir al-Qur’an masih ditulis dalam bahasa Arab yang hanya sedikit saja dari orang Indonesia yang mampu memahaminya.

Contoh 8: Tafsir QS 30: 24 tentang Hujan dan Air sebagai Sumber Kehidupan

Ayat ini menggambarkan beberapa hal yang menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai pemelihara alam semesta. Ayat ini ditafsirkan Hamka sesuai dengan isi kandungannya yang menerangkan fenomena kehadiran kilat dalam hujan dan fungsi air sebagai sumber kehidupan. Benih-benaih penafsiran ilmiah sangat nampak dalam pemaparan Hamka tentang ayat ini. Ia menulis,

“…Kilat terjadi dari hubungan elektrisitas di angkasa, ketika kecepatan positif mencari negatifnya, sehingga orang-orang mendapat akal memasangkan kawat tangkal petir pada rumah-rumah besar, sehingga jika kilat telah melecutkan cemetinya dan petirnya akan meletus, dengan kekuatan sambutan kawat tadi, si positif sudah dicarikan salurannya ke dalam bumi.[33]

Uraian di atas mengindikasikan tentang sebuah wawasan ilmu Fisika yang disandarkan pada pola kerja modul anti petir yang biasa dipasang di atas atap rumah. Penjelasan tersebut bernilai ilmiah, meski mungkin tidak terlalu njelimet menerangkan teori terjadinya hujan sebagai efek pertemuan ion positif dan ion negative di angkasa. Namun, dituangkan dalam paparan yang sangat sederhana dengan analogi kawat penangkal petir yang masih bisa diserap secara cepat oleh khalayak pembaca umumnya, lantaran modul anti-petir masih tergolong  teknologi sederhana. Dengan cara-cara sederhana yang dikenal oleh khalayak ramai inilah Hamka menerangkan teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengaitkannya bagi penjelasan ayat-ayat al-Qur’an. Logika teknik yang sangat sederhana inilah yang membuat pemaparan corak ilmiah dalam tafsirnya dapat dicerap oleh kalangan masyarakat kebanyakan yang menjadi objek dakwahnya. 

Dalam lanjutan penafsiran ayat ini, Hamka juga menafsirkan fungsi air sebagai sumber kehidupan. Sebelum memulai pejelasannya, Hamka memunculkan beberapa pertanyaan terkait dengan masalah air dan kehidupan. Ia bertanya, misalnya, “Apakah ada kehidupan di bintang-bintang lain? Adakah air di sana sebagaimana air didapati di bumi? Adakah kiranya makhluk lain yang kehidupannya tidak bergantung dengan air?”[34] Pertanyaan-pertanyaan retoris di atas dijawabnya sendiri dengan mengaitkan potongan ayat al-Qur’an yang hendak ditafsirkannya. Hamka menjelaskan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh umat manusia pada masa hidupnya baru sampai di bulan. Pada awal penyusunan tafsir al-Azhar di Rumah Tahanan Polisi di Sukabumi dan Puncak pada Maret dan April 1966, bertepatan dengan Dhul Qa’dah-Dhul Hijjah 1383, aktivitas manusia terbang ke bulan barulah rencana. Hamka menegaskan bahwa pada tahun 1969 barulah dimulai upaya pendaratan di bulan hingga enam kali, lalu dihentikan sementara pada 1975. Menurutny a, sekembali dari bulan para ilmuwan mengatakan terus terang bahwa mereka selalu merasakan dan tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa tidak ada makhluk lain di bulan. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa para ilmuwan saat itu tidak berani menjelaskannya secara ilmiah, lantaran paradigma saintifik tentang masalah itu belum teruji secara matang. Namun, sejak saat itu fiksi-fiksi ilmiah maupun khayal mulai banyak muncul di film-film, ketika digambarkan bahwa keberadaan makhluk-makhluk lain di luar bumi bukanlah sesuatu yang mustahil.[35]

Penjelasan tentang air dan kaitan erat air dengan kehidupan, seperti nampak dalam paparan Hamka terhadap penafsiran QS 30:24 menegaskan sekali lagi tentang wawasan luas yang dimilikinya yang menjadi hasil pembacaannya terhadap informasi yang berkembang seputar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan isu-isu tertentu yang juga dimunculkan oleh al-Qur’an. Dalam uraian di atas, tafsir yang disajikan Hamka mengaitkan persoalan fungsi air sebagai unsur vital kehidupan dikaitkan secara brilian dengan persoalan yang lebih besar mengenai jawaban ilmiah terhadap kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, sejalan dengan observasi ilmiah yang dilakukan umat manusia pada masanya, yang tengah mencari tahu tentang kemungkinan keberadaan unsur-unsur air dan kehidupan di daratan bulan, yang begitu dominan mengisi berita-berita tentang perkembangan dunia secara real time. Dari sini, nampak betul bahwa tafsir al-Azhar disusun oleh penulisnya yang memang gemar membaca dan menyerap informasi baru yang diterimanya, lalu menyebarkan kembali informasi yang didapat dari hasil bacaananya tersebut kepada khalayak masyarakat banyak, sesuai dengan gaya penyampaiannya sebagai seorang da’i yang memang berkewajiban menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam dan isi kandungan al-Qur’an yang menjadi sumbernya.

Contoh 9: Tafsir QS 30:41 tentang Kerusakan Alam

Dalam penjelasan ayat ini, kerusakan alam semesta, terutama yang sangat terlihat mata, di darat, laut, dan udara sebagai akibat tangan-tangan jahil manusia dapat dilihat dari polusi akibat asap dan pembakaran yang berasal dari minyak tanah, bensin, solar. Penjelasannya, menurut Hamka, adalah bahwa bahaya mengancam dari asap pabrik dan kendaraan bermotor yang terbuang ke udara sehingga udara menjadi kotor dan dihisap manusia mengotori paru-paru mereka. Selain di darat, Hamka juga menyoroti polusi yang terjadi di air, ketika ia mengatakan bahwa air laut juga rusak karena kapal tanker pembawa minyak tumpah di laut. Begitu juga air yang tercemar oleh limbah kimia pabrik yang dibuang melalui sungai, mengotori laut dan menumpuk di sana, sehingga mengganggu ekosistem ikan. Hamka menyebut peristiwa polusi di Sungai Seine dan Selat Teberau, yang menjadi warning bahwa kerusakan alam tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang akibat industrialisasi.[36]

Dari tafsiran di atas, dapat disebutkan di sini bahwa Hamka memasukkan kondisi yang terjadi pada masanya sebagai contoh dalam tafsirnya terhadap ayat ini. Di sini, persoalan kerusakan alam yang menjadi konsern al-Qur’an juga merupakan permasalahan umat manusia di sepanjang sejarahnya. Dengan mengaitkan dua hal antara pesan universal ayat al-Qur’an disertai dengan penjelasan secara ilmiah dan dikuatkan dengan contoh kenyataan di lapangan, maka para pembaca tafsirnya diharapkan dapat meningkatkan taraf wawasan pengetahuan mereka terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang bisa dicarikan solusinya dengan mempertimbangkan pesan-pesan al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir yang disajikan dapat lebih menyentuh hajat hidup masyarakat banyak. Oleh karena itu, selain corak ilmiah, maka penjelasan yang dipaparkan Hamka di dalam tafsirnya juga bercorak social karena menjangkau persoalan-persoalan kemasyarakatan yang terjadi pada masanya.   

Contoh 10: Tafsir QS 30:46-49  tentang Bahtera dan Angin

Ayat ini menerangkan sebuah teori fisika sederhana, yang menerangkan kaitan antara angina dan perahu layar yang mendominasi alat transportasi laut pra-modern, sebelum ditemukan mesin uap yang menandai dimulainya Revolusi Indistri di Eropa. Dalam tafsir ayat ini, Hamka menegaskan bahwa pada masa lalu, angin menjadi sumber tenaga utama bagi alat transportasi laut dengan kapal-kapal layarnya. Ia memberi contoh bahwa ketika itu kapal-kapal pesar pencari rempah-rempah asal Eropa milik bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris berlayar ke Timur dan sangat bergantung dengan angin. Bahkan, hingga kini masih ada kapal-kapal yang dilayarkan dengan angin seperti jung milik orang Cina, pincalang orang Bugis, biduk orang Mandar, dan perahu orang Madura. Jika angin baik maka mereka berlayar dengan selamat, bila angin buruk tak jarang kapal harus karam dengan segala isinya. Di sinilah letak pesan al-Qur’an bahwa bahtera berlayar dengan perintah Allah dan atas belas kasih Allah yang menurunkan angin.[37]

Di ayat selanjutnya, Hamka juga menerangkan satu lagi teori Fisika sederhana, yang kemudian dikaitkan dengan ilmu Biologi ketika menjelaskan hubungan awan hujan dan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Hamka menerangkan, bahwa angin mengembangkan awan setelah berarak-arak dari segenap penjuru, terkumpul sehingga hitam pekat. Menurut Hamka, semua itu terjadi menuruti kehendak Allah. Hanya Allah yang tahu ke mana awan itu akan menjatuhkan hujannya. Setelah bertambah tebal gumpalan awan yang terbentuk (yang dalam bahasa Melayu disebut gabak), maka hujan pun keluar dari celah-celahnya. Masih menurut Hamka, air hujan inilah yang menandai vitalnya rahmat Allah, ketika tanaman yang hampir mati lantaran kekeringan kembali hidup: pucuknya tumbuh dan ladang kembali menghijau. Bumi kembali menjadi subur berkat turunnya air hujan.

Sebagai gambaran mendetil tentang angin, Hamka menyitir sebuah riwayat yang membagi angin menjadi 8 macam berdasarkan sebutan-sebutannya di dalam al-Qur’an: 4 macam angin pembawa rahmat, dan 4 macam angin lain pembawa bencana. Angin-angin pembawa rahmat adalah: (1) al-nāshirāt (angin penyebar rahmat Tuhan seluas-luasnya), (2) al-mubashshirāt (angin pembawa isyarat bahwa kegembiraan akan datang), (3) al-mursalāt (angin pembawa kebaikan), dan (4) al-dhāriyāt (angin pembawa bibit). Sedangkan 4 macam angin pembawa adzab adalah: (1) al-aqīm (angin yang menggugurkan bunga, sehingga tidak menjadi buah; (2) ṣarṣar (angin puting beliung), keduanya berhembus di daratan. Dua macam lagi berhembus di laut: (3) al-āṣif (angin keras pembawa gelombang besar), (4) al-qāṣif (angin taufan penenggelam kapal-kapal  hingga hilang ke dasar laut. Selain 8 angin yang dikelompokkan ke dalam angin baik dan angin buruk, masih ada jenis-jenis angin lain yang disebutkan dalam al-Qur’an yang lebih netral: angin ṣabb yang berhembus laksana menyayat kulit; angin dabūr yang bertiup meninggalkan bekas; dan angin samūn yang berhembus sangat panas di padang pasir yang membakar. Angin samūn inilah yang mematangkan buah kurma di musim panas.[38]

Nampak jelas bahwa penjelasan Hamka terhadap kelompok ayat dalam QS 30:46-49 tersebut bercorak ilmiah lantaran memberikan informasi tentang wacana ilmu peranginan. Penjelasan ini menguatkan teori Fisika sederhana yang menjadi dasar bagi pola pergerakan kapal layar. Di samping itu, tafsir Hamka terhadap ayat ini juga memberi pencerahan dan tambahan wawasan pengetahuan tentang aspek kandungan isi al-Qur’an terkait dengan fenomena angin yang disebutkan karakternya di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dengan begitu, lengkaplah bagaimana ia mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang pernah diraih manusia dibidang pelayaran, di mana contoh yang dipaparkan sangat membantu para pembaca agar bisa memahami pesan ayat yang disampaikan dengan lebih baik dan dicerna oleh pikiran dengan lebih mudah, melalui contoh-contoh yang sesuai dengan kondisi masanya.

Contoh 11: Tafsir QS 35:12 tentang Tidak Bercampurnya Air Tawar dan Air Asin

Tafsir terhadap ayat ini, kembali mengingatkan metode penafsiran Hamka yang kerap dilakukan dengan memberi contoh yang sangat dekat dengan kehidupan nyata, apalagi mengingat bahwa kampong halamannya di Maninjau dekat dengan sungai besar, sehingga hal-hal sederhana yang dipaparkannya sebagai contoh dapat dengan mudah dipahami oleh para pembacanya. Tentang fenomena tidak bercampurnya air asin dan air tawar yang dinyatakan dalam QS 35:12, Hamka menulis,

“Kita akan merasa kagum apabila naik perahu di muara sungai yang besar, agak ke hulu sedikit, jarak 200-300 meter saja airnya sudah tawar dapat diminum. Dan kalau kita ke hilir sedikit lagi sudah terasa asin air, karena sudah termasuk daerah air asin. Cuma pada musim kemarau saja kadang-kadang daerah asin agak ke hulu sedikit, dan kalau musim hujan daerah air tawar ke hilir pula sedikit. Tetapi bagaimanapun lebatnya hujan yang tawar itu curah ke laut, namun asin laut tidak dapat diubahnya menjadi tawar. Maka sungai-sungai yang besar atau danau-danau yang lebar dapatlah menjadi persediaan hidup bagi manusia yang mendiami pinggir-pinggir sungai dan danau itu.[39]

Tafsir di atas menjelaskan dengan sangat baik, fenomena al-Qur’an yang menyebutkan air laut yang menyajikan dua rasa, namun tidak bercampur. Dengan kepiawaiannya menulis dan dengan menyajikan analogi yang tepat bagi persoalan yang mungkin agak susah untuk bisa dijelaskan jika penulisnya tidak memiliki wawasan pengetahuan praktik yang cukup, terutama dengan mengobservasi fenomena terkait di sekitarnya. Harus diakui, Hamka memiliki segudang pengalaman yang menjadikannya dapat dengan mudah menjelaskan fenomena-fenomena ilmiah yang terkait dengan ilmu kealaman secara praktek, sehingga dengan pemahaman yang baik terhadap ayat-ayat al-Quran, serta pengenalan dasar-dasar teori ilmiah yang dibacanya dari berbagai sumber, maka semua wawasan pengetahuan itu dapat teramu dengan baik dalam paparan tafsirnya yang bercorak ilmiah, namun tidak menggurui sifatnya. Ini sangat lekat dengan gaya al-Qur’an dalam menerangkan fenomena kealaman dalam ayat-ayatnya.

Kesimpulan

Keberadaan corak ilmiah dalam tafsir ini seolah menegaskan ideology baru yang menjadi ciri khas pengaruh Abduh di kalangan pemikir modern Indonesia bahwa upaya rasionalisiasi dalam menafsirkan al-Qur’an yang ditularkan oleh Abduh merupakan agenda yang harus digalakkan sesuai dengan perkembangan karya tafsir dalam merespon temuan-temuan modernitas. Di sini, tugas pokok mufassir bukan lagi menyampaikan isi kandungan al-Qur’an melalui penjelasan ayat-ayatnya yang berkenaan dengan aspek-aspek disiplin ilmu keislaman seperti teologi dan fiqih yang merepresentasi cabang-cabang pokok ilmu agama, tetapi tafsir juga berperan besar dalam menyuarakan pandangan al-Qur’an bagi keselarasan al-Qur’an terhadap kemajuan zaman.

Upaya menyuarakan pesan-pesan al-Qur’an yang mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga muncul dalam bentuk apresiasi yang sangat tinggi dalam keberadaan elemen-elemen corak penafsiran ilmiah Tafsir al-Azhar karya Hamka. Meski masih sangat terbatas dengan pemahaman dan perspektif saintifik yang masih ala kadarnya, begitu juga penerapan teknologi yang masih sangat sederhana dan belum merujuk pada upaya-upaya akademis yang lebih sistematis mengingat karakter intelektual Hamka yang bersifat ensiklopedis dan corak penulisannya yang lebih dominan mengungkap sisi dakwah penyusunnya sebagai seorang da’i, namun sumbangsih yang diberikan Hamka dengan wawasan informasi akan kemajuan teknologi pada masa hidupnya mencerminkan sebuah jalinan yang harmonis antara al-Qur’an dan perkembangan kemajuan ilmu penegtahuan dan teknologi, khususnya dalam upaya penafsiran al-Qur’an yang mulai mengarah kepada penyusunan tafsir yang tidak lagi ringkas, tetapi lebih komprehensif. Wallahu A’lam.


[1] Hamka. Tafsir al-Azhar jilid i, h. 3.

[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 75.

[3] Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid I, h. 28. Lihat juga M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, h. 34.

[4]Lihat Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, h. 58

[5] M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. 42.

[6] Yusuf, Corak Pemikiran KalamTafsir Al-Azhar, h. 43.

[7] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 102.

[8] Hamka, Tasawuf Modern, h. 10-11.

[9] Hamka, TasawufModern, h. 10-11.

[10] Rusjdi Hamka, “Kata Pengantar Cetakan Ketiga”, Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati

Umat, h. 13-14.

[11] Hamka, Tasawuf Modern, h. 11.

[12] Sides Sudyarto DS, Hamka, Realisme Religius, dalam Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, h. 140

[13] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), Juz I, h. 66.

[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 67.

[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 67.

[16] Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 67.

[17] Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 70.

[18] Hamka, Tafsir al-Azhar, xix, 197.

[19] Hamka, Tafsir al-Azhar, xix, 198.

[20]Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 27-28.

[21]Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 31-32.

[22]Hamka, Tafsir al-Azhar,  xx, 37.

[23] Hamka, Tafsir al-Azhar,  xx, 37

[24] Hamka, Tafsir al-Azhar,  xx, 38

[25] Hamka, Tafsir al-Azhar,  xx, 37-38

[26] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 121-2.

[27] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 164.

[28] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 165.

[29] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 185.

[30] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 186-7.

[31] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 62.

[32] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 62.

[33] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 71.

[34] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 71.

[35] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 71.

[36] Hamka, Tafsir al-Azhar, xx, 95.

[37] Hamka, Tafsir al-Azhar, xxi, 98.

[38] Hamka, Tafsir al-Azhar, xxi, 101.

[39] QS 35:12, (Hamka, Tafsir al-Azhar, xxii, 223).

Comments