Pesan Tauhid dalam Dakwah Musa AS

Tauhid menjadi inti pesan yang disampaikan Allah dalam dakwah yang ditunaikan oleh para nabi terdahulu. Pesan tauhid ini nampak jelas dari ajakan para nabi terhadap kaumnya untuk mengakui Tuhan yang satu, Allah SWT. Tidak hanya itu, pesan-pesan itu juga sangat jelas terbaca dari prilaku para nabi dalam menjalankan dakwah mereka. Lihat saja, dalam fragmen kisah yang pertama betapa Musa AS dengan mudahnya kembali ke jalan Allah saat menyadari kesalahan yang sudah diperbuatnya. Taubat adalah titik balik manusia kembali ke pangkuan Allah dalam meniti jalan kebenaran. Pilihan untuk meniti jalan kebenaran itu dilakukan dengan penuh konsisten. Ketika Allah menjadi pilihan, maka konsekuensinya hanya Allahlah yang menjadi tempatnya bergantung. Ini ditunjukkan dalam fragmen kisah yang kedua ketika Musa AS menjalani pelariannya hanya dengan bergantung kepada Allah dalam meminta petunjuk dan bahkan mengharapkan datangnya makanan saat ia lapar dan membutuhkannya. Sikap ini berlanjut pada tahapan kehidupan Musa selanjutnya, ketika dalam perjalanan kembali ke Mesir ia diangkat menjadi rasul dan diperintahkan mengajak Fir'aun ke jalan tauhid. Tiga kisah di bawah ini menegaskan bagaimana Musa AS meneguhi ajaran tauhid dengan mengesakan Allah dan menajdikan Allah sebagai satu-satunya penoong dan tempat bersandar. 

(1) Musa AS Bertaubat dari Perbuatan Aniaya

Pesan ini dapat dengan jelas ditangkap dari QS al-Qaṣaṣ/28:16, yang merupakan doa yang dipanjatkan oleh Musa AS ketika memohon ampunan setelah ia merasa telah membuat kesalahan yang meski dilakukannya tanpa sengaja, seraya mengakui bahwa dirinya telah berlaku zalim, sehingga ia membutuhkan ampunan Allah agar bisa terbebas dari kesalahan itu. Di sini, Musa mengakui kesalahan dan meminta ampun seraya berkata,

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.

Latar Belakang Kisah

Dari keterangan yang termaktub di dalam dua ayat sebelumnya, didapatkan sebuah informasi bahwa doa permohonan ampun yang dipanjatkan Musa AS kepada Allah bermula dari sebuah kesalahan yang diperbuatnya tanpa sengaja. QS al-Qaṣaṣ/28:14-15 menerangkan,

14. Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik.

15. Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi: seorang dari golongannya, dan seorang lagi dari musuhnya. Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata, “Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata.”

Dua ayat di atas menerangkan dengan jelas bahwa setelah pukulan Musa mengenai musuhnya itu, dan kemudian yang dipukul itu mati, maka Musa dengan segera menyadari bahwa dirinya telah melakukan sebuah tindakan kesalahan. Kesadaran itu muncul seketika dari dalam diri Musa berkat hikmah dan pengetahuan yang dimilikinya, ketika usianya kala itu telah mencapai kematangan yang juga menandai kesempurnaan akalnya. Perolehan hikmah dan pengetahuan itu pulalah yang membimbing tindakannya untuk meminta ampun kepada Allah atas kesalahan yang diperbuatnya, meskipun ada banyak tafsiran tentang apakah ia benar-benar telah melakukan kesalahan atau dosa dalam peristiwa ini, mengingat orang yang terbunuh tanpa sengaja merupakan musuhnya, dan bukan pula termasuk orang-orang yang beriman. Lepas dari persoalan apakah tindakan tanpa sengaja membunuh musuh merupakan dosa atau tidak, tindakan Musa meminta ampun dari kesalahan yang tanpa sengaja ia perbuat sebagaimana tercermin dalam doa ini menegaskan sebuah fakta bahwa Musa telah mencapai tahap kematangan diri sebagai pribadi yang terpilih menjadi seorang nabi.

Ṭabarī menjelaskan bahwa pencapaian hikmah dan pengetahuan ini terjadi ketika usia Musa ditandai dengan perkembangan raga yang tumbuh menjadi kuat, dan mencapai akhir masa muda (syabāb) yang ditandai dengan kesempurnaan akhlak dan akalnya. Menurut Ṭabarī, ada perbedaan pandangan ahli tafsir dalam menerka berapa usia Musa saat kejadian itu. Sebagian mufassir mengatakan bahwa kematangan akal dicapai pada usia 40 tahun, sementara kematangan fisik seseorang sudah dicapai sejak berusia 33 tahun.[1] Dengan menyandarkan pada pandangan pola perkembangan fisik dan mental manusia pada umumnya ini, Ṭabarī kemudian menyimpulkan pula bahwa yang dimaksud dengan hikmah dan pengetahuan adalah pemahaman gama dan wawasan akalnya (ma’rifah). Namun demikian, Ṭabarī lebih cenderung menilai ihwal kematangan fisik dan akal yang dicapai Musa ini sebagai pemahaman terhadap hukum (fiqh) dan kematangan akal sebelum memperoleh wahyu/kenabian (qabla nubuwwah).[2] Kalimat yang menandai akhir ayat ke-14 surat al-Qaṣaṣ, “Dan demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik” dengan jelas menyebut reputasi baik Musa AS dengan perolehan hikmah dan pengetahuan yang dimilikinya sebelum diangkat sebagai seorang Nabi.

Khāzin sepenuhnya setuju dengan penjelasan Ṭabarī di muka, hanya saja ia memberi batas minimal bahwa perkembangan menuju kematangan kekuatan fisik menurutnya sudah dimulai ketika seseorang mencapai usia 18 tahun, sehingga baginya usia 33 tahun merupakan batas akhirnya.[3] Ia melanjutkan penjelasannya bahwa nama kota yang dimasuki Musa adalah Memphis (minf) yang berada di wilayah Mesir.[4] Ada dua alternatif nama lain yang disebut Khāzin sebagai tafsir ayat ini: kampung Ḥābīn  yang berjarak 2 farsakh dari Mesir, dan kota Matahari (shams). Sedangkan “waktu ketika penduduknya tengah lengah” dimaknai Khāzin sebagai “tengah hari” ketika para penduduk tengah terlelap dalam tidur siang (qailūlah).[5]

Peristiwa perkelahian sendiri bermula dari sebuah perkara ketika Musa AS menolong temannya yang tengah berkelahi dengan salah seorang pemuda dari kelompok musuh. Di sini, Musa mendapati salah seorang temannya dari suku Israil yang tengah berkelahi sengan seorang lelaki Koptik. Mendengar permintaan tolong temannya inilah , maka ia lalu meninju orang yang ia anggap sebagai musuh temannya tersebut, sehingga pemuda yang berasal dari kelompok musuh itu mati. Kata wakaza yang dipakai dalam redaksi al-Qur’an diartikan sebagai tundakan memukul di bagian dada atau mendorong dengan ujung jari jemari,[6] sehingga sama sekali tidak mengherankan bila kemudian tindak pemukulan ini berujung pada kematian korbannya, terutama jika menimbang kekuatan fisik yang sangat luar biasayang dimiliki Musa saat itu. Dari sini,Musa kemudian menguburkan jenazah orang itu di tanahberpasir.[7] Reaksi spontan Musa ketika mendapati musuh yang dipukulnnya mati adalah bahwa Musa merasa hal tersebut merupakan bagian dari akibat perbuatan setan. Ṭabarī menafsirkan, “Musa berkata ketika mendapati orang yang dipukulnya mati bahwa peristiwa pembunuhan ini disebabkan oleh setan yang telah meletupkan amarahke dalam diri Musa, sehingga ia memukul orang itu hingga terjatuh. Sesungguhnya setan itu musuh, yaitu musuh bagi manusia yang menyesatkan mereka dari jalan petunjuk dengan cara mengajak pada perbuatan buruk, agar manusia menganggap hal buruk itu sebagai sesuatu yang baik-baik. Setan itu musuh yang nyata, yaitu nyata permusuhannya selama-lamanya, begitu juga upaya-upayanya dalam menyesatkan umat manusia.”[8]

Khāzin sedikit berbeda memaknai reaksi spontan Musa terkait dengan pembunuhan ini dengan mengatakan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Musa itu ditujukan pada perbuatan si terbunuh, bukan pada perbuatan Musa sendiri. Dari sini, menurut Khāzin, maknanya adalah bahwa menurut Musa  perbuatan si korban yang terbunuh tersebut adalah bagian dari perbuatan setan, yang maksudnya dapat dijelaskan sebagai penyimpangan terhadap perintah Allah, sehingga ia pun pantas mendapatkan kematian. Dengan penafsiran model ini, ungkapan Musa tersebut mengisyaratkan bahwa si terbunuh adalah bagian dari bala tentara setan.[9] Penafsiran semacam ini terkesan sangat subjektif dan bersifat apologi, mengingat al-Qur’an telah dengan gamblang memuat pernyataan Musa yang tetap saja menganggap bahwa tindakannya yang tanpa sengaja membunuh seorang Koptik tanpa perintah Allah adalah tindakan zalim. Hal itu merupakan sesuatu yang kurang pantas dilakukan oleh pribadi seorang nabi, lantaran hal itu dilakukan tanpa perintah Allah, sebagaimana kemudian diakui sendiri oleh Musa dalam pembuka doanya bahwa “Ya Tuhan, aku sungguh telah menzalimi diri sendiri, maka ampunilah aku.”

Penyesalan Musa dan jaminan ampunan Allah

Sebagai bagian dari permohonan ampun yang disampaikan Musa dalam doanya, Musa terlebih dahulu mengakui bahwa dirinya telah berbuat aniaya. Pengakuan ini menjadi semacam penyesalan yang menandai sikap taubat yang sebenarnya, untuk kemudian tidak mengulanginya lagi.[10] Ungkapan penyesalan ini nampak jelas dalam kalimat lanjutan dalam doa Musa,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ (17)

Musa berkata, “Ya Tuhanku demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, sekali-kali aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berbuat dosa.

 

Memohon “ampun” yang dipanjatkan Musa dalam doanya juga bisa bermakna bahwa Allah “menutupi” (yasturu) perbuatan aniaya tersebut, sehingga kabar itu tidak sampai tersebar ke mana-mana. Bahkan Fir’aun sendiri sebagai pemuka kaum Koptik dibuat bingung karena tidak mengetahui siapa pelaku pembunuhan terhadap salah seorang kaumnya itu. Dengan kata lain, apapun alasan yang diungkapkan, sengaja atau tidak sengaja Musa membunuh lawannya tersebut, maka jika saja berita itu tersebar maka jiwa Musa akan menghadapi ancaman serius, karena ia akan menghadapi sanksi hukuman pembunuhan juga. Di sinilah makna “Allah mengampuni Musa” dimaknai oleh Khāzin sebagai “Allah menutupi [berita pembunuhan] tersebut sehingga tidak diketahui oleh Fir’aun siapa pembunuhnya”.[11] Hal tersebut menjadi “nikmat” tersendiri yang diperoleh Musa, sebagaimana dimaksudkan oleh Musa dalam ungkapan doa selanjutnya, bahwa demi nikmat yang Allah telah anugerahkan kepada dirinya, yaitu nikmat “ampunan” (maghfirah) dan ditutupinya (satr) kabar tentang perbuatannya yang telah membunuh seorang Koptik,[12]maka Musa bertekad untuk tidak mau lagi membantu perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang selalu saja berbuat dosa. Ayat ini menjadi tanda bahwa teman Israili yang dibantunya ternyata bukanlah dari bagian kelompok orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah lantaran tongkah polahnya yang selalu saja melakukan tindakan dosa.

Dalam doa ini, Musa mengungkapkan tekadnya dengan sangat yakin bahwa ia tidak akan pernah mau lagi menjadi penolong (lan akūna ẓahīran) bagi orang-orang yang berdosa. Tekad kuat dan kemantapan hati untuk tidak mengulangi perbuatan zalim inilah yang kemudian mendapatkan ujian konsistensi pada keesokan harinya, ketika Musa mendapati orang yang ditolongnya sehari sebelumnya terlihat berkelahi lagi dengan seorang pengikut Fir’aun lainnya, dan orang itu kembali meminta Musa untuk membantunya.Tekad kuat Musa yang tidak mau lagi mengulangi kesalahan dengan bertaubat, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama yang telah diperbuatnya, membuat Musa tidak mau lagi membantu teman sukunya untuk kali yang kedua. Tindak kesalahan yang sama dan diulangi lagi oleh teman sesuku Musa di keesokan harinya tersebut membawa Musa pada sebuah kesimpulan bahwa yang ternyata teman Israilinya ini benar-benar menjadi pribadi yang senang membuat dosa. Kesimpulan ini pulalah yang kemudian mendasari anggapan bahwa sang teman Israili Musa tersebut bukanlah termasuk golongan yang beriman kepada Allah SWT. Hal ini didukung dengan jawaban Musa yang hanya mengatakan, “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya).” (QS al-Qaṣaṣ/28:18) Meski jawaban ini bukan akhir dari kisahnya terkait dengan peristiwa pembunuhan sehari sebelumnya, namun ungkapan ini cukup untuk membuktikan bahwa Musa telah benar-benar bertaubat dan tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mengulangi lagi perbuat itu sama saja dengan menyamakan prilakunya sebagai orang yang senang berbuat dosa seperti teman Israilinya itu.

Dari kisah ini, meski al-Qur’an dengan jelas telah mengabarkan bahwa permohonan ampunan Musa dikabulkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan di bagian akhir ayat tersebut, “…Allah mengampuninya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang,[13] namun pemberian ampunan saja tidaklah cukup. Menghentikan perbuatan dosa adalah dengan mengakhirinya dan tidak mengulanginya lagi di kesempatan lain sesudah itu. Dengan demikian, ampunan Allah yang berupa nikmat yang diberikan Allah kepada Musa dengan selubung misteri yang menutupi kasusnya kriminal yang dilakukan Musa AS sehingga tidak tersebar beritanya ke mana-mana, dengan tidak ada orang yang tahu pelaku pembunuhan pemuda Koptik itu adalah Musa berkat campur tangan Allah bukanlah solusi permanen bagi persoalan yang dihadapi Musa ketika itu. Menutup kesalahan yang diperbuat seseorang yang menyesal dan bertaubat setelah menyadari kekeliruannya tidak lebih penting dari upaya menghindari terulang kembalinya kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh seorang pelaku perbuatan tercela itu di kemudian hari. Di sinilah kemudian hikmah cerita ini tidak berhenti dengan turunnya ampunan Allah yang menutupi kesalahan yang tanpa sengaja telah diperbuat oleh Musa AS, tetapi berlanjut pada pesan kesalehan bahwa orang yang benar-benar bertaubat tidak akan pernah mengulangi lagi kesalahan yang pernah diperbuatnya. Sekali lagi konsistensi taubat Musa diuji di sini, dan pesan terpentingnya adalah bahwa Musa sebagai pribadi yang salih lulus dalam ujian tersebut.

Sampai di sini, ujian Allah akan selalu menyertai langkah hamba-hamba Allah yang salih. Dalam kasus peristiwa pembunuhan yang tanpa sengaja dilakukan oleh Musa,Allah tidak menjadikan kasus ini selesai dengan tertutupinya kesalahan Musa dari mata orang banyak, karena Allah kemudian memberikan ujian keimanan yang jauh lebih dahsyat. Ujian ini tidak saja mengenai konsistensi taubat Musa untuk tidak mengulangi tindakan kesalahan/dosa, tetapi lebih jauh menguji apakah Musa memang benar-benar menyandarkan segala urusannya kepada Allah sebagai buah dari keyakinan tauhid dan sikap tawakkalnya, sebagaimana akan diuraikan di bagian selanjutnya.  Hingga sampai fragmen ini, dapat diambil sebuah kesimpulan awal bahwa jaminan ampunan Allah bagi Musa merupakan berkah dan rahmat Allah atas kesigapan Musa melakukan taubat sesegera mungkin setelah menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Dengan bersegera melakukan taubat, maka Musa berharap agar Allah mengampuni kesalahan itu dengan menutupi kesalahannay dari mata orang lain. Mengakui kesalahan dan memohon ampunan tidak akan berarti tanpa tekad untuk bertaubat, dengan tidak mengulanginya lagi perbuatan dosa itudi masa-masa selanjutnya. Dari sinilah konsistensi terhadap taubat yang benar-benar dilakoni dengan tulus, kemudian diuji ketika ia ternyata pada keesokan harinya Musa menghadapi kondisi yang sama dengan peristiwa sehari sebelumnya. Dan konsistensi taubat Musa membuahkan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan, apapun resikonya.

Signifikansi: Tuntunan taubat yang benar

Sikap dan prilaku Musa yang dengan segera mengingat Allah ketika melakukan tindakan kesalahan, bahkan tindakan kesalahan yang tidak disengaja sekalipun---dengan mengakuinya sebagai bagian dari kelalaiannya dan tindakan tidak terpuji yang dilakukan tidak berdasarkan perintah Allah--- merupakan salah satu alasan utama dari diterimanya taubat seorang hamba. Tidak hanya sebatas pengakuan, bahwa dirinya menyadari telah melakukan tindakan yang bersifat zalim, dengan mengungkapkan rasa penyesalannya atas tindakan tidak terpuji itu; maka penyesalan ini juga harus diikuti dengan sikap tidak mengulangi perbuatan tersebut di masa-masa selanjutnya. Sikap Musa menjadi salah satu petunjuk tentang prasyarat taubat yang sebenar-benarnya. Taubat Musa ini relevan untuk diikuti oleh siapa saja yang menghendaki turunnya ampunan Allah, yang bukan saja maghfirah-Nya ketika Allah menghapus catatan dosa-dosa yang baru saja dilakukan seseorang, tetapi juga disertai harapan bahwa Allah akan menutupi perbuatan buruk yang telah disesalinya tersebut agar tidak diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, turunnya ampunan Tuhan tidak saja terkait dengan dimensi vertikal yang menandai membaiknya hubungan hamba dengan Tuhannya, tetapi diberikannya ampunan juga terkait dengan aspek horizontal dalam hubungan antar manusia, ketika seorang hamba juga berharap Allah akan menutupi kesalahannya dari mata manusia.

Doa yang dipanjatkan Musa dengan cara meminta ampunan kepada Allah, diawali dengan pengakuan telah berbuat kesalahan disertai dengan rasa penyesalan bahwa tindak kesalahan yang telah dilakukan juga menjadi kezaliman yang dilakukannya terhadap dirinya sendiri, sehingga kemudian untuk memperbaiki langkah selanjutnya seseorang bertekad untuk tidak melakukan kesalahan tersebut di masa selanjutnya merupakan tuntunan dalam melakoni taubat yang benar. Dan taubat tuntunan taubat yang sebenar-benarnya melalui pengakuan dosa, rasa penyesalan dalam diri pelakunya, juga tekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi seperti dilakukan oleh Musa merupakan panutan yang patut dicontoh oleh siapa saja yang memang menghendaki turunnya ampunan Allah bagi dirinya. Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa Ia Maha pemberi ampunan, menghapus, dan menutupi dosa-dosa, dan juga Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya.


[1] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 535-536.

[2] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 536.

[3] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 359.

[4] Pandangan bahwa nama kota ini adalah Memphis juga ditemukan dalam Ṭabarī, dan menurutnya peristiwa itu terjadi tengah hari. Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 537.

[5] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 359. Pandangan ini agaknya dipegangi mayoritas mufassir, meskipun ada tambahan pendapat lain yang disitir baik oleh Khāzin maupun Ṭabarī mengenai waktu terjadinya, yaitu antara waktu maghrib dan isya, namun tidak ada otorisasi sanad yang menguatkan pendapat kedua ini. Lihat juga Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 537-538.  

[6] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 360.

[7] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 541; Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 360.

[8] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 541.

[9] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,  iii, 360.

[10] Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 541; Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,  iii, 360.

[11] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 360.

[12] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 360.

[13] Lihat QS al-Qaṣaṣ/28:16.


(2) Dalam Tawakkal Allahlah Tempat Bergantung Sepenuhnya

QS al-Qaṣaṣ/28:21-24 adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Musa AS, ketika ia harus keluar dari Mesir menuju negeri Madyan guna menghindari kejaran orang-orang yang hendak menangkapnya, doa Musa ketika ia hanya memohon petunjuk kepada Allah, bukan kepada selain-Nya, dan bahkan meminta makanan pun saat perutnya lapar, Musa AS memintanya hanya kepada Allah. Dari serangkaian peristiwa dan untaian doa yang dipanjatkan Musa AS, Allah memberikan petunjuk dan jawaban-jawaban atas permohonan yang disampaikan Musa AS dalam bentuk yang tidak ternilai bagusnya.

Doa Musa memohon diselamatkan dari kejaran penguasa zalim

Upaya pelarian ini merupakan resiko yang harus diambil Musa ketika berita tentang kesalahannya memukul mati seorang Koptik saat membantu temannya yang tengah berkelahi yang awalnya menjadi sebuah mesteri menjadi terungkap dalam peristiwa perkelahian yang terjadi keesokan harinya. Seorang Koptik yang mendengar percekcokan Musa dengan teman Israili yang menyebut Musa sebagai pelaku pembunuhan kemarin hari menyampaiakn berita itu kepada Fir’aun, sehingga Musa pun menghadapi ancaman penangkapan oleh bala tentara Fir’aun yang disebar ke seluruh negeri. Dalam kondisi yang sangat mengancam keselamatan jiwanya, Musa AS memanjatkan permohonannya kepada Allah SWT dengan mengatakan,

رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Artinya: Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.

Ujian Keimanan

Fragmen selanjutnya dari kisah Musa dalam ayat ini lebih mirip sebagai sebuah ujian keimanan. Di sini, mungkin benar bahwa Musa telah melakukan kesalahan dengan membantu seorang Israili yang belakangan diketahui tidak benar-benar beriman, sehingga ia kemudian perlu menegaskan bahwa di lain kesempatan ia tidak akan lagi membantu mereka yang berbuat dosa.[1] Karakter teman sesukunya (min shī‘atih) yang meminta pertolongan Musa tempo hari (QS al-Qaṣaṣ/28:15) digambarkan al-Qur’an berubah menjadi bagian dari kaum yang sesat (ghawī) (QS al-Qaṣaṣ/28:18) yang tidak lain merujuk pada kelakuan kaum kaum pendosa (mujrimin) yang disebut dalam ayat sebelumnya, yaitu QS al-Qaṣaṣ/28:17. Hanya selang sehari sesudah itu, sebutan untuk orang tersebut sudah berubah menjadi musuh (‘aduw) (QS al-Qaṣaṣ/28:19).[2] Di sinilah karakter pendosa (mujrimūn) yang melekat pada pribadi orang ini menjadi terlihat semakin jelas pada episode-episode selanjutnya dari fragmen kisah Musa ini.

Sampai pada fase permohonan ampun Musa, yang nyata-nyata dikabulkan Allah, kesalahan Musa yang tanpa sengaja membunuh seorang Koptik saat itu sebenarnya telah ditutupi oleh Allah. Hal ini dibuktikan oleh suatu fakta bahwa ketika berita terbunuhnya seorang Koptik tersebut sampai ke telinga Fir’aun, tidak ada seorang saksi pun yang bisa diajukan untuk menjelaskan kronologinya, lantaran yang tahu bahwa pelakunya adalah Musa yang telah memukulnya tanpa sengaja hanyalah teman Israili yang telah dibantunya tersebut. Dari sini, meskipun kemudian Fir’aun memerintahkan untuk melakukan penyelidikan karena yang terbunuh adalah seorang Koptik, peristiwa tersebut tetap saja masih menyimpan misteri.[3]

Ungkapan dan doa Musa sebelum ini yang mensyukuri nikmat bahwa Allah telah menutupi kesalahannya, ditambah dengan tekad Musa untuk tidak mengulangi perbuatan untuk membantu kaum pendosa berbuah beberapa ujian. Bukan hanya ujian konsistensi yang mengukur seberapa kuat tekad Musa untuk bertobat dan tidak mengulangi kesalahan serupa untuk kedua kalinya, tetapi lebih jauh lagi Allah memberikan ujian keimanan: seberapa kuat iman Musa kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Penolong bagi dirinya, ketika hampir semua manusia tidak dapat dipercaya dan tidak ada yang bisa membantunya.

Ujian pertama berawal ketika keesokan harinya Musa mengalamiperistiwa yang hampir sama, ketika teman Israili yang ditolongnya tempo hari tengah berkelahi lagi dengan seorang Koptik lainnya. Kali inipun, sang teman Israili meminta bantuan Musa. Akan tetapi Musa menolak memberikan pertolongan.Sang Israili kemudian mengatakan, “Wahai Musa apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang bertindak sewenang-wenang di negeri ini, dan engkau pun tidak mau menjadi penengah?” Pernyataan sang Israili ini tentu saja telah membuka misteri pembunuhan tempo hari, dengan sedikit bumbu fitnah, dengan menimpakan kesalahan semuanya di pundak Musa. Ungkapan inilah yang menegaskan makna mujrimīn yang disebut dalam QS al-Qaṣaṣ/28:17.Ungkapan tersebut menegaskan bahwa sang Israili yang ditolong Musa bukanlah orang baik-baik. Ia memang gemar berkelahi, dan ia juga tidak hanya membuka selubung misteri pembunuhan, tetapi menambahkan fitnah ketika permintaan tolongnya ditolak oleh Musa. Di sini, penilaian Musa terbukti bahwa teman sesukunya itu memang telah nyata sesatnya. Jadilah sang Koptik yang tengah bertengkar dan mendengar ucapan sang Israili melaporkan berita yang baru saja didengarnya tersebut kepada Fir’aun. Dengan demikian, keselamatan jiwa Musa menjadi sangat terancam ketika itu.

Ujian pertama tentang konsistensi taubat Musa ternyata diikuti oleh ujian berikutnya yang lebih berat lagi.Musa mendapatkan cobaan yang sangat berat yang tidak saja menguji konsistensinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah diperbuatnya, tetapi lebih dari itu konsistensi taubatnya memicu munculnya bahaya yang sangat besar, sehingga ia memutuskan untuk melarikan diri keluar dari Mesir sebagai solusinya. Keputusan ini diambil setelah ia mendengar saran seseorang yang disebut dalam al-Qur’an hanya dengan identitas yang tersamar, wa jā’a rajulun min aqṣāl-madīnati yas‘ā (seseorang yang datang bergegas dari ujung kota) ---yang ditafsirkan Khāzin sebagai salah seorang Israili yang bertugas sebagai pegawai kepercayaan keluarga Fir’aun. Khāzin menyebut beberapa alternatif nama untuk menandai orang ini. Menurutnya, orang itu bernama Hazqīl, tetapi ada pula yang menamainya Sham‘ūn atau Sam‘ān.[4]Berkat saran yang diberikan orang inilah maka kemudian Musa melarikan diri keluar dari Mesir lantaran para pembesar Mesir mencari-carinya ke seluruh pelosok negeri untuk menangkap Musa dan kemudian membunuhnya. 

Ketakutan akan nasib buruk yang bakal menimpa akibat perbuatan aniaya yang tanpa sengaja dilakukannya ketika seorang pemuda Koptik terbunuh, dan kekhawatiran tentang fitnah yang akan menimpa dirinya lantaran pemuda Israili yang dibantunya tempo hari malah membuka rahasia dan tabir misteri pembunuhan yang bahkan menimpakan kesalahan seluruhnya di pundak Musa, maka saat itu Musa benar-benar menghadapikondisi yang sulit. Sesuai saran dan nasihat orang yang mendatanginya tadi, maka Musa bergegas melarikan diri keluar dari Mesir. Hanya itulah solusi atasancaman keselamatan dirinya saat itu, karena begitu sulitnya mendapatkan orang yang bisa dipercaya. Ia hanya bisa berharap pada Allah melalui doanya, agar ia diselamatkan dari orang-orang yang hendak berbuat aniaya kepadanya.Ṭabarī memaknai doa Musa kali ini dengan kalimat penjelasan sebagai berikut, “Ya Tuhan, selamatkan aku dari mereka yang kafir ini, yang menzalimi diri mereka dengan kekafiran mereka kepadaMu.”[5] Khāzin juga setuju dengan Ṭabarī yang mengartikan kaum yang zalim sebagai kelompok orang-orang kafir.[6]

Signifikansi: menjadikan Allah sebagai sandaran utama

Sikap dan tindakan Musa yang menjadikan Allah sebagai tumpuan pengharapan satu-satunya merupakan salah satu dari wujud dari sikap tawakkal. Ketika ia merasa tidak ada manusia yang bisa dipercaya untuk memberikan pertolongan bagi masalah yang dihadapinya, maka ia memilih memohon pertolongan kepada Allah SWT. Ia memohon kepada Allah agar mendapatkan ketenangan, sekaligus meminta keselamatan kepada-Nya agar dijauhkan dari orang-orang yang zalim.

Doa ini relevan untuk siapa saja yang berada dalam kondisi terjepit dan merasa terzalimi, atau bahkan terjerat dalam perangkap kezaliman yang nyata dan bermaksud hendak membebaskan diri dari semua masalah yang menjeratnya dengan meminta pertolongan Allah. Allah menjadi sandaran manusia dalam meminta pertolongan, ketika tidak ada teman yang bisa memberikan pertolongan lagi. Dalam kondisi inilah, Allahlah satu-satunya teman, yang menjadi tumpuan harapan yang menjanjikan bagi siapa saja yang mempercayai-Nya sebagai Dzat yang memiliki kuasa untuk melakukan apapun yang bisa merubah nasibnya. Secara naluriah, manusia memang lebih mengingat Tuhan ketika tengah menghadapi kesulitan dan kemalangan, dibandingkan dengan ketika mereka sedang menghadapi keriangan dan kegembiraan. Sikap tawakkal, sebagaimana ditunjukkan Musa sebagai langkah lanjutan setelah taubat adalah dengan menjadikan Allah sebagai sandaran utama dalam setiap kesempatan.

Doa Musa Memohon Petunjuk Allah SWT

QS al-Qaṣaṣ/28:22 adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Musa AS ketika berada di tengah jalan menuju kota Madyan mengharapkan datangnya petunjuk Allah yang memberinya arahyang akan ditempuhnya sebagai pilihan jalan yang benar.Musa memanjatkan permohonannya kepada Allah seraya berucap,

 عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ

Artinya: Mudah-mudahan Tuhanku menunjukiku jalan yang benar.

Sikap tawakkal

Ketakutan terhadap sekelompok manusia yang akan berbuat zalim sekaligus kebingungan untuk menentukan tujuan apa yang akan dilakukannya membuat Musa senantiasa hanya meminta petunjuk dari Allah saja. Ini dibuktikan ketika ia memutuskan untuk melarikan diri menuju arah kota Madyan. Menurut Khāzin, kota Madyan dipilih Musa karena di sana terdapat anak keturunan keluarga Ibrahim AS, di mana Musa sendiri masih menjadi bagian dari keturunan anak-anak Ibrahim  ini. Kota ini diberi nama sesuai dengan nama pendirinya Madyan b. Ibrahim. Jarak perjalanan antara Mesir dan Madyan dapat ditempuh lebih kurang dalam delapan hari perjalanan dengan berjalan kaki.[7]Dalam keadaan yang diliputi rasa khawatir terhadap kejaran bala tentara penguasa, Musa melarikan diri keluar dari Mesir tanpa kendaran (ẓahr), tanpa bekal (zād), dan tanpa seorangpun yang menyertai. Musa hanya memakan dedaunan dari pohon dan tetumbuhan yang tumbuh di atas bumi, sehingga terlihat jelas warna kehijauan di perutnya. Sesampai di Madyan, bahkantelapak kaki Musa seolah hampir copot.[8]Menurut Khāzin, berdasarkan riwayat Ibn ‘Abbās, hal tersebut adalah awal cobaan yang diberikan Allah kepada Musa,[9] maka tidak mengherankan bila ia tidak henti-hentinya memohon petunjuk dan pertolongan Allah.

Sepanjang perjalanan menuju Madyan inilah Musa tak henti-hentinya memohon petunjuk Allah agar diberikan arah dan jalan yang benar. Doa yang ia panjatkan, “Mudah-mudahan Tuhanku menunjukiku jalan yang benar” menjadi refleksi harapannya agar diberikan petunjuk ke arah dan tujuan yang benar, lantaran ia memang benar-benar tidak tahu arah jalan menuju Madyan.[10]Bahkan, diceritakan oleh Khāzin di sini, bahwa setelah Musa berdoa meminta petunjuk kepada Allah, seorang malaikat datang kepadanya membawa seekor kambing (‘anzah) di tangannya, maka bertolaklah ia bersamanya menuju Madyan.[11]Di sini, petunjuk Allah menjadi faktor penting yang bisa memberikan ketenangan hati Musa selama masa pelariannya, sehingga ia dapat benar-benar sampai ke kota Madyan yang dituju. Petunjuk Allah juga dibutuhkan agar ia dapat menempuh jalur yang benar dan waktu yang pas, sehingga tidak menemui halangan, seperti bertemu dengan bala tentara Fir’aun yang memang mengejarnya dan hendak menangkapnya.

Signifikansi: Berdoa dan berusaha

Dalam keadaan apapun, Allah menjadi sandaran terbaik bagi siapa saja yang menghadapi kegalauan dan kerumitan masalah. Sikap tawakkal dengan menjadikan Allah satu-satunya sandaran dalam berusaha, dan tidak lupa berdoa memohon pertolongan-nya, merupakan kunci terbukanya jalan keluar yang baik bagi masalah yang dihadapi. Dengan bertawakkal, selain berusaha seseorang juga diperintahkan untuk berdoa memohon petunjuk Allah. Petunjuk Alalh diperlukan dalam membimbing arah jalan yang benar. Turunnya petunjuk ini akan dapat memberi ketenangan hati yang berperan penting bagi keberhasilan usaha seseorang dalam menghadapi segala kesulitan, dan bahkan kondisi yang lebih buruk lagi. Dengan ketenangan yang didapatkan di dalam hatinya, setelah sebelumnya ia melakukan kesalahan dan bertaubat mengharapkan ampunan Allah, lalu memohon petunjuk-Nya bagi langkah yang harus ditempuh selanjutnya, maka insya Allah penyelesaian masalah yang tengah dihadapi seorang hamba dapat  tercapai satu demi satu hingga tuntas seluruhnya.

Bercermin dari kisah Musa yang selalu memohon petunjuk Allah dalam doanya, seraya tetap berusaha sekuat tenaga yang dimilikinya, seseorang diharapkan dapat meniti capaian kondisi yang lebih baik, ketika ia melangkah memperbaiki diri beranjak dari kesulitan yang tengah dihadapinya. Jikapun ia harus memulai sebuah kenyataan hidup yang baru dari nol lagi, maka dengan menyandarkan semua persoalan kepada Allah dengan memohon petunjukNya, maka harapan yang ditambatkan dalam doa memohon petunjuk Allah merupakan motivasi yang sangat berguna. Doa memohon petunjukmenjadi penyemangat bagi upaya yang dilakukan tanpa lelah. Kombinasi keduanya merupakan awal yang baik bagi tercapainya kenyataan yang diharapkan bahwa Allah akan memberinya kehidupan pengganti yang lebih baik lagi.

Doa Musa memohon diturunkan makanan

QS al-Qaṣaṣ/28:24 adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Musa AS ketika sesampai di pinggiran kota Madyan dalam pelariannya dari Mesir menghindari kejaran orang-orang yang zalim dalam keadaan lapar yang begitu membutuhkan makanan.Seraya berlindung di tempat yang teduh setelah menolong dua orang wanita penggembala dengan memberi minum ternak-ternaknya, Musa memanjatkan permohonannya kepada Allah,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku Aku sungguh sangat memerlukan kebaikan yang Kau turunkan kepadaku".

Latar peristiwa

Berkat petunjuk dan pertolongan Allah Musa sampai di Madyan dengan selamat. Ia sampai di pinggiran kota ketika beberapa kelompok penggembala berkerumun memberi minum ternak-ternak mereka. QS al-Qaṣaṣ/28:23 menggambarkan keunikan peristiwa yang terjadi, ketika Musa melihat jauh di belakang para gembala lelaki yang sibuk meminumkan ternak mereka ada orang dua orang perempuan yang tengah menghambat ternak-ternaknya. Musa lalu bertanya mengapa keduanya berbuat demikian. Musa pun mendapat jawaban bahwa kedua perempuan itu baru dapat meminumkan ternak-ternak mereka setelah para pria penggembala pulang. Ternyata kedua perempuan tersebut menggantikan bapaknya yang telah lanjut usia menggembalakan ternak-ternaknya. Ada tiga pendapat tentang tafsir siapa bapak dua perempuan penggembala ini dalam versi penafsiran Khāzin. Pertama, ia adalah Shu‘aib AS sendiri; kedua: Bīrūn anak saudara laki-laki Shu‘aib, karena Shu’aib meninggal tidak lama setelah matanya menjadi buta; dan ketiga: salah seorang yang beriman kepada Shu‘aib.[12]

Setelah mendengar cerita, Musa pun membantu memberi minum ternak milik kedua perempuan itu. Khāzin merinci beberapa penjelasan tentang bantuan apa yang diberikan Musa guna meminumkan ternak kedua perempuan itu. Ada tiga pendapat berbeda yang dikemukakan Khāzin tanpa menyebutkan sumbernya. Pertama, Musa menaruh iba dan kasihan kepada kedua perempuan itu, sehingga kemudian tiba-tiba batu besar yang hanya bisa diangkat sekitar sepuluhan laki-laki dan menutup lubang sumur lain di dekat posisi kedua perempuan itu bergeser membuat celah sumur baru, sehingga keduanya dapat meminumkan ternak-ternak mereka. Kedua, Musa maju dan bersaing bersama kelompok penggembala laki-laki lain dan kemudian  meniru cara mereka guna meminumkan ternak milik kedua perempuan itu. Ketiga, dikatakan bahwa ketika selesai meminumkan ternak-ternak mereka, para gembala laki-laki itu menutup sumur dengan batu besar yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang. Maka Musa datang dan mengangkat batu itu, lalu hanya dengan berkah air satu ember, ia pun memberi minum semua ternak milik kedua perempuan itu.[13] Dari ketiga versi tafsir yang dikemukakan oleh Khāzin, kesemuanya menunjukkan sebuah usaha yang dilakukan Musa untuk memberi minum ternak milik kedua perempuan tersebut. Walhasil, tidak perlu menunggu sore hari setelah semua penggembala lelaki selesai meminumkan ternak, kedua perempuan itu dapat pulang ke rumah lebih awal. Sementara Musa setelah itu mencari tempat untuk berteduh dibawah sebuah pohon[14] seraya memanjatkan doa memohon diturunkannya kebaikan yang sangat ia butuhkan.

Kebaikan dalam bentuk makanan

Para ahli tafsirsepakat menafsirkan kebaikan yang dimaksud Musa di dalam doanya dengan makna“makanan.[15]Ini sesuai dengan kondisi bahwa Musa dalam keadaan ketakutan dan kelaparan ketika sampai di Madyan. Kondisi ketakutan mengantarkan Musa untuk tidak meminta bantuan kepada sesama manusia, tetapi memilih memintanya hanya kepada Allah.[16] Doa Musa yang meminta diturunkannya makanan ini didengar oleh Allah dan dikabulkan, seperti digambarkan dalam ayat selanjutnya, yaitu QS al-Qaṣaṣ/28:25,

25. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Shu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Shu'aib berkata: "Janganlah kamu takut, kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu".

 

Ketulusan hati Musa menolong kedua perempuan penggembala dengan meminumkan kambing-kambing mereka, membuat kedua wanita tersebut bisa pulang ke rumah lebih cepat. Hal ini mengundang pertanyaan ayah mereka, sehingga kemudian sang ayah menyuruh salah satu putrinya agar membawa Musa yang telah menolong mereka untuk dijamu di rumah mereka. Ketika sampai di rumah Shu’aib AS dan diminta menikmati jamuan, Musa awalnya menolak karena ia tidak menginginkan pertolongan yang telah dilakukannya diberikan upah. Namun setelah dijelaskan bahwa memang sudah adat mereka menjamu para tamu yang datang ke rumah mereka dengan memberi mereka makanan dan minuman, maka barulah Musa mau memakan jamuan yang disediakan.[17] Pertemuan Musa dengan keluarga Shu’aib seolah menjadi jawaban atas doa Musa yang memerlukan makanan ketika ia merasa sangat lapar. Keinginan Musa untuk mendapatkan kebaikan” dalam bentuk makanan bersambut dengan tradisi keluarga Shuaib yang memang biasa menjamu para tetamu yang datang ke rumah mereka dengan menyediakan makanan dan minuman. Bahkan, kebaikan yang diinginkan Musa juga terkabul karena bukan hanya sajian hidangan makanan seperti yang diinginkannya saat lapar, tetapi juga benar-benar kebaikan bagi masa depan Musa di negeri pelarian. Musa ditawari pekerjaan dan kondisi kehidupan yang lebih baik, ketika ia pun diangkat sebagai menantu Shu‘aib untuk salah satu puterinya.

Signifikansi: Bentuk kebaikan tidak bisa dibatasi

Kebaikan yang diperoleh Musa selama pelariannya di Madyan merupakan buah dari segenap permohonan yang dipanjatkannya kepada Allah. Dengan mengabulkan permohonan-permohonan Musa, maka Allah telah menggariskan begitu banyak kebaikan bagi Musa dalam merajut nasibnya yang baru di negeri pelariannya. Ia selamat dari kejaran bala tentara Fir’aun yang tidak dapat mencapai Madyan karena berada di luar batas kekuasaannya, dan di sana pun ia mendapatkan kelaurga baru yang memberinya kesempatan untuk membina keluarga, sebelum ia kembali ke Mesir untuk menjalankan kewajiban dakwah sebagai rasul untuk kaum Israil di kemudian hari.

Dalam doa yang terakhir dipanjatkan ketika Musa meminta diturunkan“kebaikan” yang dibutuhkannya saat lapar, ia bahkan meminta hal itu hanya kepada Allah karena ketidakpercayaannya kepada orang-orang yang dikhawatirkan akan berlaku zalim. Doa ini relevan bagi siapa saja yang ingin meniru keteladanan Musa dengan mempertaruhkan segala pengharapannya hanya kepada Allah, sebagai satu-satunya Dzat yang ia percayai, bahkan untu sesuatu yang sifatnya kebutuhan fisiknya sekalipun. Terbukti, dengan menjadikan Allah sebagai sandaran utama bagi pengharapan-pengharapan dalam menghadapi kesulitan agar terbebas dari orang-orang yang zalim berbuah pada perolehan kebaikan yang tidak hanya sesuai dengan harapannya, bahkan bisa lebih baik lagi, wallahu a’lam.



[1] Lihat QS al-Qaṣaṣ/28:17.

[2] QS 28:19 menyebut dengan jelas kisahnya. “Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: "Hai Musa, Apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan Tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang Mengadakan perdamaian".Di sini, sebutan “teman” yang diungkapkannya tempo hari berubah menjadi “musuh”.

[3] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 543; Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,  iii, 360.

[4] Ketiga nama itu disebut semuanya dalam tafsiran Khāzin (Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361). Sementara itu Ṭabarī hanya menyebut dua nama saja: Sham‘ūn disebut dalam riwayat Ibn Juraij, sedangkan Sam‘ān disebut dalam riwayat Ibn Isḥāq, lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 547.

[5] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 549.

[6] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,   iii, 361.

[7] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361. Jarak ini dalam riwayat Sa‘īd b. Jubair dan Ibn ‘Abbās yang dikutip Tabari sebanding dengan jarak antara kota Basrah dan Kufah (lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 550).

[8] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361; Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 550.

[9] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361.

[10] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 549; Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361.

[11] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361. Tabari dengan mengutip riwayat as-Sudā merinci peristiwa yang terjadi, bahwa malaikat itu datang di atas kuda, yang ditangannya juga memegang seekor kambing. Tatkala melihatnya, Musa bersujud padanya lantaran sangat ketakutan, maka malaikat itupun berkata, “Jangan sujud padaku, tetapi ikuti saja aku.” Maka Musa pun mengikutinya, dan malaikat itu menunjukinya arah menuju Madyan (Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 549).   

[12] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361.

[13] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361.

[14] Khāzin menduga bahwa Musa berteduh di sekitar tetumbuhan yang dinamai samurah, (Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361), atau samār(Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (ed. J. Milton Cowan) (Beirut: Librairie du Liban, 1980, 429), yang tergolong jenis Juncus spinosus atau Juncus acutus, yaitu sejenis tumbuhan monokotil yang tingginya satu setengah meteran berwarna hijau dan coklat, biasa tumbuh di wilayah Afrika Utara dan Asia Barat (lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Juncus_acutus).

[15] Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xix, 556-558; Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 361-362.

[16]Tafsir al-Qurtubi, xiii, 270.

[17] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl, iii, 362.


(3) Mengharap Kemudahan dalam Berdakwah

Setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih duapuluh delapan tahun dalam pelarian di Madyan, mengabdikan diri sebagai bagian dari anggota keluarga Syu’aib AS dengan menikahi salah satu puterinya,[1] tibalah waktu bagi Musa AS bersama keluarga barunya untuk kembali ke Mesir, tempatnya diutus menjadi rasul untuk kaumnya Bani Israil.QS 20:25-35 adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Musa AS ketika diperintahkan untuk mendakwahi Fir’aun agar menerima seruan Allah. Dalam doanya Musa memohon:

قالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي (25) وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي (26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (27) يَفْقَهُوا قَوْلِي (28) وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي (29) هَارُونَ أَخِي (30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي (31) وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي (32) كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا (33) وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا (34) إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيرًا (35)

25. Musa berkata: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,

26. dan mudahkanlah untukku urusanku,

27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,

28. supaya mereka mengerti perkataanku,

29. dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,

30. (yaitu) Harun, saudaraku,

31. teguhkanlah dengan dia kekuatanku,

32. dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku,

33. supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau,

34. dan banyak mengingat Engkau.

35. Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami".

 

Daftar permohonan Musa AS dalam doanya kali ini cukup panjang, berbeda dengan doa-doa sebelumnya pada saat pelariannya ke Madyan yang umumnya pendek-pendek, situasional, dan bersifat praktikal. Doa kali ini juga nampak sebagai manifestasi sikap tawakkalnya kepada Allah SWT, ketika ia hanya merujuk Allah SWT sebagai satu-satunya tempat meminta pertolongan guna mengurai kesulitan dakwah. Allahlah yang memerintahkan Musa untuk mendakwahi Fir’aun, sehingga kepada Allah pulalah ia memanjatkan hajat dan pertolongan yang dibutuhkannya. Musa menyandarkan masalahnya hanya kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemantapan hati, kelapangan dada, sehingga dengan kekuatan mental itu ia mendapatkan keyakinan diri agar dapat mengusir rasa takutnya terhadap sikap mudah marah Fir’aun dan ketakutannya terhadap besarnya kekuatan tentara yang dimiliki Fir’aun. Musa menyadari bahwa Allah yang dimilikinya, dan turunnya pertolongan Allah SWTyang membantunya mengatasi kesulitan dakwah akan memenuhi permohonan yang dipanjatkan dalam doanya.

Kelapangan dada yangmemudahkan urusan

Hal pertama yang diminta Musa adalah kelapangan dadanya, yang dengan itu urusan yang akan dihadapinya menjadi mudah.Khāzin menegaskan bahwa kelapangan dada yang diminta oleh Musa ditafsirkan sebagai kelapangan hatinya bagi kebenaran, karena Musa memiliki ketakutan yang besar terhadap Fir’aun yang sangat pemarah dan memiliki banyak tentara. Menurut Khāzin, dengan memohon kelapangan dada, maka Musa menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberinya mudarat kecuali atas izin Allah. Dengan menyadari hal itu, ia pun menjadi tidak merasa takut lagi kepada Fir’aun, baik terhadap sifat pemarahnya maupun terhadap bala tentaranya yang sangat banyak yang dimiliki oleh Fir’aun.[2]

Dapat dicerna di sini bahwa kembali ke Mesir dan menemui Fir’aun sedikiit menyisakan ketakutan dalam diri Musa, mengingat masa lalu menyiratkan adanya hubungan yang tidak terlalu baik di antara keduanya. Musa tahu betul bahwa Fir’aun memiliki tabiat buruk, yaitu mudah marah. Kebesaran jumlah bala tentara yang dimilikinya juga turut mengganggu rasa percaya diri Musa, ketika diperintahkan oleh Allah untuk menemui Fir’aun dan mengajaknya kepada jalan tauhid. Tapi, semua kesulitan dakwah itu ia kembalikan kepada Allah SWT. Ia memohon kepada Allah agar memberinya kelapangan dada, agar ia bisa menerima kebenaran, bahwa ia menerima perintah mendakwahi Fir’aun itu dengan sepenuh dukungan dan pertolongan Allah kepada dirinya, sehingga kemudahan dalam menjalankan urusan tersebut dapat ia capai.

Dalam doanya, Musa juga memohon kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dalam menunaikan perintah yang Allah berikan kepadanya, yaitu perintah untuk menyampaikan dakwah kepada Fir’aun. Baik Ṭabarī maupun Khāzin sepakat bahwa Musa memang memohonkan kemudahan bagi terlaksananya kewajiban dakwah yang dibebankan di atas pundaknya. Kemudahan ini penting diraih, terutama ketika yang dihadapi adalah Fir’aun; sementara Musa sadar diri sepenuhnya bahwa kewajiban tersebut harus dijalankan sebagai bentuk ketaatannya kepada perintah Allah SWT.[3] Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa karena perintah untuk mendakwahi Fir’aun datang dari Allah, maka dengan memintakan kemudahan kepada-Nya, maka Musa merasa yakin bahwa kemudahan yang diinginkannya tersebut akan dapat dicapai dan dikabulkan oleh Allah.

Kefasihan kunci memahami percakapan

Musa juga memohon kepada Allah agar ia diberikan kefasihandalam berbicara. Gaya bicara Musa memang tidak fasih karena lidah Musa sedikit kelu akibat terkena bara api ketika masih kanak-kanak. Khāzin menceritakan ihwal lidah Musa yang kelu ini dengan kisah kenakalan Musa semasa berada dalam pengasuhan keluarga Fir’aun. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Musa kecil memukul kepala Fir’aun dan menarik jenggotnya. Tingkah kenakalan Musa ini telah membuat marah Fir’aun. Sikap Musa yang dirasa kurang ajar ini membuat Fir’aun sempat berfikir bahwa mungkin saja Musa inilah musuhnya[4] yang menghantuinya dalam mimpi-mimpinya. Saat itu, Fir’aun bahkan menuduh Musa hendak membunuhnya. Ia bersiap memberikan hukuman kepada Musa atas kelancangannya ini, namun Musa kemudian mendapat pembelaan dari Asiyah, isteri Fir’aun, yang menegaskan hal tersebut sebagai tingkah kenakalan lazimnya anak-anak yang belum sempurna akalnya. Pembelaan Asiyah ini berhasil, ketika Musa menunjukkan sikap kanak-kanak yang belum mengerti benar akan hakikat sesuatu, sehingga benar persangkaan Asiyah bahwa sebagai kanak-kanak Musa memang belum bisa berfikir secara logis. Ketika disodorkan kepadanya dua benda: permata dan bara api, maka Musa kecillebih memilih bara api ketimbang permata yang disodorkan ke tangannya.[5]

Peristiwa di atas adalah awal cerita yang menyebabkan Musa mendapat cacat di lidahnya, ketika Musa kemudian memasukkan bara api itu ke dalam mulutnya. Lidahnya kemudian menjadi kelu lantaran terbakar. Akibatnya, bicaranya tak lagi fasih bicara sejak saat itu. Permohonan Musa kepada Allah agar menyembuhkan kekeluan lidah yang membuatnya tak bisa fasih bicara inilah yang menjadi salah satu permintaan Musa dalam doanya. Kefasihan lidah menjadi aspek penting dalam dakwah, karena dengan kefasihan lidah maka bicaranya menjadi mudah dimengerti. Hal inilah yang diminta Musapada saat Allah memerintahkannya pergi menghadap Fir’aun untuk menyerukan dahwah tauhid. Dengan hilangnya kekeluan lidahnya, Musa berharap ia bisa lebih fasih bicara, sehingga percakapannya bisa lebih dimengerti oleh Fir’aun. Ṭabarī menilai bahwa dengan memanjatkan permohonan ini, kekeluan lidah Musa pun menjadi hilang seketika.[6]

Meminta pendamping

Kesimpulan Ṭabarī bahwa Musa mendapatkan kesembuhan dari kekeluan lidahnya dikuatkan dengan QS 20:36 yang menandai akhir kisah ini, ketika Allah menegaskan bahwa Musa telah mendapatkan apa yang dimintanya. Namun, dikabulkannya permohonan-permohonan tetap saja dirasa tidak cukup untuk menghadapi Fir’aun. Musa tidak bisa sendirian datang menemui Fir’aun, sehingga ia meminta agar Allah juga mengangkat saudaranya Harun sebagai Nabi yang menjadi pendampingnya. Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh Khāzin ketika Musa memilih untuk ditemani oleh Harun dalam menjalankan misi dakwahnya berhadapan dengan Fir’aun. Menurut Khāzin, Harun lebih tua,[7] lebih fasih lidahnya, lebih tampanrupanya dan lebih tinggi badannya dibanding Musa AS.[8] Alasan-alasan inilah yang membuat Musa memohon kepada Allah agar ia didampingi oleh Harun dalam berdakwah di hadapan Fir’aun.

Ṭabarī menyebut riwayat Ibn ‘Abbās bahwa Harun memang lebih tua dari Musa.[9]Ṭabari juga menambahkan bahwa Musa membutuhkan Harun bukan saja sebagai wakilnya (wazīr), tapi juga Harun dibutuhkan oleh Musa untuk menjadi penerjemahnya.[10] Dalam ungkapan doanya[11] di ayat 31, Musa menegaskan bahwa Harun bisa menjadi penolongnya yang bisa menguatkannya dalam menghadapi Fir’aun. Selain itu, dalam ungkapan doanya, Musa juga menginginkan bahwa dapat lebih intensif melakukan ibadah bersama Harun, ketika ia menegaskan bahwa bersama saudaranya tersebut ia bisa lebih banyak bertasbih dan berzikir (ayat 33 dan 34). Dan yang lebih penting lagi, Musa menegaskan lagi bahwa ia tidak meminta hal yang mengada-ada, lantaran semua hal yang disebutkannya sudah tentu diketahui Allah sendiri yang Maha Melihat terhadap kondisi yang dialaminya (ayat 35).

Beberapa bentuk permohonan yang dipinta Musa seperti tertuang dalam doanya kal ini sudah dikabulkan oleh Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam QS 20:36, Allah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, Hai Musa."Khāzin menafsirkan ayat ini dengan makna bahwa Allah telah mengabulkan permohonan Musa semuanya.[12] Senada dengan Khāzin, Ṭabarī dalam tafsir ayat ini bahkan merinci bahwa Allah sudah mengabulkan permohonan apa saja yang dimintakan oleh Musa, mulai dari melapangkan dadanya, memudahkan urusannya, menghilangkan kekeluan lidahnya, menjadikan Harun saudaranya sebagai wazir, meneguhkan kekuatannya dengan kehadiran Harun dan keikutsertaan Harun dalam urusan kerasulan bersama-sama dengannya.[13]

Signifikansi: berdoa meminta yang terbaik bagian dari upaya tawakkal

Ketika menerima perintah untuk menemui Fir’aun dan mendakwahinya untuk mengajaknya ke jalan tauhid, Musa melihat bahwa secara logika perintah tersebut agak sulit direalisasikan hanya oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkannya, permohonan Musa kepada Allah menjadi bentuk permohonan bantuan yang disampaikannya hanya kepada Allah, lantaran ia menyadari bahwa Allahlah satu-satunya penolongnya, sama seperti ketika ia menghadapi kesulitan sehingga harus keluar dari Mesir menuju Madyan. Di sini, ketika ia diperintahkan kembali ke Mesir setelah menghabiskan beberapa puluh tahun hidupnya di Madyan, Musa kembali menyandarkan sikap tawakkalnya dengan meminta permohonan hanya kepada Allah agar dapat memenuhi perintah-perintahNya.

Selain berupaya, berdoa menjadi langkah awal yang baik ketika seorang hamba merasabahwa dirinya mengalami kesulitan jika hanya menjalani usaha dengan mengandalkan upayanya dan kekuatan sendiri semata-mata. Kalkulasi kekuatan diri dalam menjalankan misi yang dibebankan oleh Allah kepada diri seorang Rasul adalah langkah dan strategi terbaik. Sementara meminta bantuan itu kepada Allah merupakan konsekuensi logis pula karena perintah itu datangnya dari Allah jua, dan untuk kepentingan agama Allah. Sebagaimana Allah Maha Melihat terhadao kondisi hambaNya, maka permohonan yang dipanjatkan Allah agar Allah membuang jauh halangan dan rintangan yang melekat di dalam diri seorang hamba menjadi permintaan yang sewajarnya dipanjatkan, dan menjadi salah satu langkah terbaik dalam mencapai kesuksesan misi dakwah dan usahanya. Di sini, berdoa memohon kelapangan dada dan kemudahan urusan menjadi langkah baik mengawali usaha dengan harapan Allah akan memudahkan pencapaian upaya yang akan dilakukan seseorang.

Dalam praktek sehari-hari, doa yang diungkapkan oleh Musa ini banyak diucapkan di awal sebuah perbincangan atau khutbah, dengan harapan agar sang pembicara dapat berbicara dengan fasih, sehingga penjelasannya dapat ditangkap oleh para pendengar atau lawan bicaranya dengan baik dan tidak disalah-fahami. Aspek kefasihan yang selalu diinginkan oleh orang yang hendak berbicara menjadi hal yang sangat penting, di samping menjadi penunjang keberhasilan dari hasil pembicaraan, ceramah, perundingan, dan forum-forum perbincangan lainnya. Di sisi lain, kelapangan dada juga diperlukan agar seseorang dapat memahami kebenaran perintah Allah dan kemudian mencernanya dengan meminta bantuan hanya kepada Allah untuk mencapainya.

Doa ini juga seringkali dipanjatkan oleh murid-murid yang hendak memulai proses belajar, sebagaimana kelapangan dada dan keluasan hati menjadi pertanda baik bagi masuknya proses transfer ilmu pengetahuan dalam proses belajar (ta’līm). Di sini, kelapangan dada dan keluasan hati, serta ketenangan fikiran (fokus) menjadikan proses belajar dapat dijalani dengan lebih mudah, sehingga diharapkan dapat mencapai target yang diinginkan. Biasanya, para murid menambahkannya dengan rangkaian doa lain, seperti yang diminta oleh Nabi Muhammad SAW agar selalu ditambahkan ilmu dalam memahami al-Qur’an (QS 20:144).


[1]Riwayat Wahb bin Munabbih yang dikutip oleh Khazin menyebutkan bahwa Musa tinggal selama 28 tahun bersama keluarga Shu’aib AS. Ia menggembalakan kambing selama 10 tahun sebagai ganti mahar perkawinannya dengan anakperempuannya yang bernama Ṣafūrā’, dan 18 tahun lagi sesudahnya hingga melahirkan anak-anak dalam perlindungan keluarga Shu’aib AS. Di sini, Wahb juga mencatat bahwa Musa melarikan diri dari Mesir dalam usia 12 tahun, sehingga usianya ketika kembali ke Mesir dan menerima wahyu di perjalanan menuju tanah kelahirannya ini diperkirakan 40 tahun. Lihat Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 205. Namun, sedikit catatan bahwa riwayat ini agaknya kurang bisa diterima mengingat bahwa dalam penjelasan terdahulu Khazin menilai usia Musa minimal 18 tahun, ketika perkembangan fisiknya mulai menunjukkan masa kematangan. Lihat Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 359.

[2] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 204.

[3] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 203; lihat juga Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 299.

[4] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 299.

[5] Khāzin, iii, 204. Khazin menilai bahwa Musa sebenarnya akan memilih permata, namun dengan campur tangan Jibril yang mengarahkan pilihan pada tangannya, akhirnya ia memilih bara api dan memasukkan ke dalam mulutnya.

[6] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 300.

[7]Usia Harun disebut lebih tua setahun dibanding Musa. Lihat, Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 204.

[8] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 204.

[9] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 300.

[10] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 300.

[11] Tabari juga memuat riwayat tafsir yang berasal dari Abd Allāh b. Abī Isḥāq yang memandang ungkapan Musa ini sebagai kabar tentang dirinya, bahwa ia akan melakukan hal tersebut, bukan sebuah permohonan. (Lihat Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 301). Meskipun begitu, dalam hemat penulis ungkapan iti masih bisa dianggap sebagai pengharapan Musa kepada Allah dalam doanya, agar Allah menambah kekuatan dirinya dengan diangkatnya Harun bersama dirinya sebagai nabi dan bersama-sama menemui Fir’aun, selain sebagai wakil dirinya, juga penerjemahnya lantaran Musa telah lama meninggalkan Mesir dan menetap di Madyan, di mana penduduknya memakai bahasa yang berbeda.   

[12] Khāzin, Lubāb at-Ta’wīl,iii, 204.

[13] Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, xviii, 301.

Comments