Tafsir Tematik (2)

Teori Penafsiran Tematik Hassan Hanafi (1935-sekarang)

Moh. Anwar Syarifuddin, MA.

 

Latar Belakang Kebutuhan terhadap Tafsir Tematik

Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kelebihan tafsir tematik dibandingkan dengan karya tafsir tahlili: (1) dalam tafsir tematik menafsirkan al-Quran bukan sekedar menggali makna dari teks tetapi juga menarik makna itu ke dalam realitas. Lebih detil ia menjelaskan bahwa dalam aktivitas hermeneutika, penafsiran tematik bukan hanya merepresentasikan upaya-upaya untuk menerangkan makna teks, tetapi juga merupakan upaya untuk memahaminya (understanding); dengan demikian, tafsir tematik tidak hanya menjadi perhatian untuk bisa mengetahui (knowing), tetapi juga menyadari dan mengalaminya. (2) Dalam tafsir tematik sang mufassir tidak hanya berfungsi sebagai penerima makna, tetapi juga berperan sebagai pemberi makna. Ia menerima makna lalu meletakkannya dalam sebuah struktur yang rasional dan berbasis kenyataan. Di sini, penafsiran tematik merupakan penemuan identitas asli antara wahyu, akal, dan alam semesta. (3) Dalam tafsir tematik, upaya yang disebut dengan istilah interpretasi bukan sekedar kegiatan menganalisis, tetapi juga upaya membuat sintesis; dengan kata lain, bukan hanya memecah kesatuan ke dalam bagian-bagiannya, tetapi juga mengembalikan bagian-bagian itu ke dalam kesatuan. Dalam hal ini, interpretasi berarti melihat inti dari sesuatu, membawa objek ke dalam fokus. (4) Dalam istilah akademik interprestasi adalah menemukan sesuatu yang baru, di antara garis-garis, menambahkan pengetahuan utama yang tidak dikenal dan tidak diartikulasikan untuk masuk ke level yang lebih dalam dari sebuah teks yang bersesuaian dengan tingkat kesadaran lebih mendalam. Dengan kata lain, interpretasi adalah menulis sebuah teks baru, sebuah refleksi kitab suci dalam cermin kesadaran individu.[1]

Dalam pandangan Hassan Hanafi, penafsiran tematik muncul lantaran kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh metode tafsir tahlili. Ada beberapa unsur yang dinilainya sebagai kelemahan dan kekurangan tafsir tahlili:

1.      Munculnya tema-tema serupa dalam beberapa surah, sehingga kemunculan tema-tema lain telah menginterupsi keutuhan dari tema yang pertama. Hassan Hanafi memberi contoh tema-tema yang dikandung dalam sebuah surah al-Qur’an, seperti: kekayaan, kekuasaan, umat, akal, indera, individualitas, solidaritas sosial, dan seterusnya. Setiap tema umumnya diuraikan hanya secara parsial, sehingga menjadi sangat bergantung dengan konteksnya; akibatnya, tema yang bersifat menyeluruh hilang ke dalam bagian-bagian yang berbeda-beda.

2.      Mengulang-ulang tema serupa beberapa kali tanpa kesatuan makna dalam membangun sebuah konsep, seperti tentang status perempuan, yang gagasannya tercerai-berai di seluruh bagian kitab. Setiap kali satu aspek dari tema ditemukan, namun realitas yang nampak secara bertahap kemudian menjadi terdesak meskipun dipandang secara parsial, dan perlu disatukan ke dalam satu inti pembahasan.

3.      Penafsiran tahlili tidak memiliki struktur tema, apakah rasional ataukah empirikal atau bahkan keduanya. Sebuah struktur yang memberi ruang bagi tema untuk bisa berdiri sendiri, memiliki validitas sendiri, bisa memverifikasi secara mandiri, bukan dari luar, baik dalam aspek rasional maupun empirikalnya, dan bukan hanya dari dalam kitab suci.

4.      Tidak adanya ideologi yang koheren dalam tafsir tahlili atau pandangan dunia global yang menghubungkan aspek-aspek parsial dari tema ke dalam sebuah pandangan yang bersifat global, mulai dari yang partikular dulu, lalu beranjak menuju pandangan yang bersifat menyeluruh. Contohnya: melihat, mendengar, dan merasakan merupakan bagian-bagian dari aktivitas kognitif, sementara berbuat, berbicara, dan berinteraksi merupakan aspek lain dari kesadaran. Keduanya merupakan dimensi berbeda dalam individualitas manusia.

5.      Tafsir yang berjilid-jilid melelahkan untuk dibaca, bahkan untuk membelinya, membawa dan menyimpannya, dan bahkan ketika hanya untuk memegangnya di dalam genggaman tangan. Kuantitas itu tidak banyak disukai dewasa ini, sehingga membuat para pembaca kebingungan di depan kacamata ilmu yang menyempit. Terkadang, muncul kesan bahwa hanya ayat-ayat al-Qur’an sendiri saja –tanpa tafsir-- yang nampak lebih mudah dibawa dan lebih sederhana untuk dipahami.

6.      Dalam tafsir tahlili, terjadi kebingungan unttuk memilah antara informasi dan ilmu. Informasi adalah sesuatu yang sudah diketahui di suatu tempat dan dikomunikasikan dari satu sumber ke sumber lain, sementara ilmu adaalah sesuatu yang baru, sebuah tambahan dari informasi dan ilmu yang ada sebelumnya. Terkadang kitab tafsir menyajikan informasi, sementara al-Qur’an memberi ilmu.

7.      Informasi yang disajikan di dalam tafsir tahlili berbeda dengan kebutuhan diri dan masyarakat masa kini. Para pembacanya tidak mengidentifikasi bacaan. Bacaannya bersifat dingin, tidak berguna, dan informasi yang ketinggalan zaman. Sementara para pembaca memerlukan ilmu pengetahuan yang hidup, berguna dan up to date.

Cikal bakal penafsiran tematik al-Qur’an memang dimulai dari pembagian disiplin ilmu dalam kajian al-Qur’an itu sendiri, di mana corak-corak tafsir tradisional menampilkan disiplin-disiplin ilmu itu secara sangat kentara. Perkembangan literatur tafsir al-Qur’an menghasilkan beragam kitab tafsir yang secara sangat menonjol menampilkan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang menandai corak tafsir yang dimilikinya, seperti tafsir falsafi, tafsir aqidah, tafsir sufi, tafsir ilmi dengan beragam disiplin keilmuan yang dicakupnya, tafsir bahasa. Menurut Hassan Hanafi, tafsir sosial politik merupakan corak penafsiran modern yang paling dekat dengan penafsiran tematik.[2] Hal tersebut dinilai dari lingkungan sosio-politik masa kini dan penggunaan teks sebagai alat kritik untuk mengukur jarak antara kenyataan dan idealitas. Penafsiran al-Qur’an bagi Hassan Hanafi adalah sebuah kritik atas masyarakat muslim. Teks adalah bentuknya (form) sedangkan realitas aktual adalah isinya. Penafsiran diarahkan menuju perubahan sosial dengan memperhatikan problem-problem besar dalam dunia Islam, yaitu dengan cara menyambungkan teori kepada prakteknya, melampaui batasan penafsiran masa klasik, dan kemudian mengaitkan teks ke masa kini.[3] Menurut Hassan Hanafi, penafsiran semacam itu nampak dalam beberapa literatur tafsir modern seperti Tafsir Juz’ ‘Amma karya Abduh,[4] Tafsir Surah al-Fatiḥah karya bersama Abduh dan Rasyīd Riḍā;[5] atau Tafsir al-Manār karya Rasyīd Riḍā,[6] dan Durūs al-Dīniyyah karya Muhammad Muṣṭafā al-Marāghī.[7] Persoalannya kemudian adalah bahwa permasalahan sosial politik tidak memiliki prioritas mutlak. Di sini analisis tekstual lebih dominan dibandingkan dengan analisis empirik terhadap realitas, sebagaimana terlihat dari corak penafsiran tahlili. Akibatnya, perubahan sosial dianggap sebagai aspek yang bersifat parsial semata, tanpa bisa menangkal isu-siu politik radikal, seperti isu kelas, kekuasaan (power), dan kekayaan (wealth). Agama dan etika senantiasa masih mendapatkan prioritas di atas politik dan ihwal kemasyarakatan. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora belum digunakan untuk merubah penafsiran al-Qur’an menjadi sebuah wacana yang ketat.

Membangun Metode Tafsir Tematik

Ada beberapa premis yang menandai penafsiran tematik al-Qur’an. Premis merupakan landasan filosofis yang mendasari sebuah metode. Dengan kata lain, premis bukan sekedar sebuah prosupposisi, tetapi suatu fakta yang tersaji dalam kontestasi realitas yang ada. Di antara beberapa premis itu adalah pertama, bahwa wahyu itu diletakkan di antara dua buah tanda kurung, tidak diterima namun tidak pula ditolak. Seorang penafsir tidak mempertanyakan  masalah yang tengah sangat diperdebatkan dalam kajian ilmu ketimuran abad ke-19 seputar asal muasal sifat kekadiman al-Qur’an sebagai wahyu, apakah berasal dari Tuhan ataukah dari Muhammad sendiri. Penafsiran tematik berangkat dari sesuatu yang sudah diterima (given), tanpa mempertanyakan asal muasal sebelum diterimanya. Jadi, penafsiran dilakukan setelah al-Qur’an diterima, bukan sebelumnya. Penafsiran berkaitan dengan pertanyaan tentang apa? bukan bagaimana? Jika asal mula kesejarahan al-Qur’an dapat dibuktikan melalui analisis sejarah, maka asal muasal sifat ketuhanan al-Qur’an tidak bisa dibuktikan selain secara negatif, yaitu dengan mempertimbangkan keterbatasan dari analisis sejarah. Dengan demikian, semua isu berada di antara dua tanda kurung, yang tidak akan menjadi masalah bagi seorang mufassir. Sebuah teks tentulah akan seterusnya menjadi teks. Bernilai ketuhanan atau justru hanya bernilai kemanusiaan, suci atau profan, bernilai agamis atau sekuler. Bahkan, pertanyaan tentang asal-usul merupakan problem genesis, sedangkan penafsiran tematik hanya mempertanyaan masalah esensi saja.[8]   

Kedua, al-Qur’an dipandang sama seperti teks lain, yaitu sebagai obyek tafsir. Sama seperti aturan hukum, karya sastra, teks filsafat, atau dokumen sejarah. Al-Qur’an tidak memiliki kategori spesial, seperti teks suci atau teks agama. Semua teks sama-sama harus mengikuti aturan penafsiran yang sama. Perbedaan antara yang suci dan yang profan tidak terkait dengan hermeneutika secara umum, tetapi hanya dalam praktek keagamaan. Lebih-lebih teks keagamaan seperti hadis nabi merupakan transmutasi dari bahasa manusia, baik berbahasa Arab maupun yang menggunakan kata-kata asing, termasuk ujaran-ujaran yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman atau bahkan oleh kelompok yang tidak beriman.[9]  Baginya, al-Qur’an menciptakan sebuah genre baru dalam sastra: puisi, prosa, dan doa ibadah (liturgy).

Ketiga, tidak ada istilah penafsiran yang benar atau salah, pemahaman yang benar atau tidak benar. Yang ada hanyalah upaya-upaya berbeda untuk mendekati teks dari beragam kepentingan, untuk motif yang berbeda. Konflik penafsiran merupakan konflik kepentingan. Bahkan penafsiran secara bahasa juga berubah sejalan dengan perubahan bahasa. Penjelasan akurat tentang sebuah teks menurut prinsip linguistik adalah sebuah pengulangan yang dianggap tidak berguna. Kesamaan seutuhnya antara teks yang diterangkan dengan penjelasan teksnya adalah sebuah anggapan formal yang didasarkan pada hukum identitas. Jarak waktu antara saat pengucapan dan saat diterangkan yang lebih dari 14 abad, di mana teori penyamaan antara teks dan interpretasi terhadapnya hampir-hampir tidak mungkin dapat dilakukan.

Keempat, interpretasi dari sebuah teks tidaklah tunggal, tapi ada banyak interpretasi dengan mempertimbangkan perbedaan pemahaman di antara para penafsir yang berbeda. Interpretasi sebuah teks secara esensi adalah pluralistic. Teks menjadi alat bagi kepentingan manusia dan bahkan nafsu. Teks hanyalah sebuah bentuk (form), penafsirlah yang mengiris bentuk itu dengan isi dan substansi yang berasal dari ruang dan zamannya.

‌            Kelima, konflik interpretasi secara esensi lebih menyerupai konflik sosio-politik, bukan teoretis. Teori hanyalah sekedar alat penutup yang besifat teologis. Setiap intepretasi menggambarkan komitmen sosial politik dari penafsirnya. Intepretasi adalah senjata ideologis yang digunakan oleh begitu banyak kekuatan sosial politik untuk memelihara atau merubah status quo. Dipelihara oleh kaum konservatif dan dirubah oleh kaum revolusioner.[10]

Aturan-aturan (rules) dalam Penafsiran Tematik

1. Adanya komitmen sosial politik, di mana seorang mufassir bukanlah seseorang yang berada di garis netral. Dia seumpama warga yang hidup dengan banyak drama di dalam negerinya dan juga krisis yang terjadi dalam kurun hidupnya. Dia menderita oleh kenyataan dan teorbsessi oleh perubahan sosial. Dia mengindentifikasi diri sebagai rakyat miskin yang tertindas. "Sitz I'm leben" (kursi dalam kehidupan) bukan hanya diperuntukkan bagi teks, tetapi juga untuk penafsirnya. Tidak ada penafsir yang tidak terikat dengan komitmen terhadap sesuatu. Tidak adanya komitmen bearrti mengakui adanya komitmen negatif, komitmen untuk nothing, untuk non-comitment. Seorang penafsir adalah seseorang yang terikat dengan komitmen terhadap sebab. Ia bisa jadi seorang pembaharu, aktor sosial, atau bsia juga pelaku revolusi.

‌2. Mencari sesuatu, dalam arti bahwa ‌penafsir tidak membawa tangan kosong saat memasuki sebuah ruang, atau dengan kata lain tanpa tahu apa yang ia hendak cari. Dia tidak memiliki kesadaran netral tetapi memihak sesuatu. Kesadaran sang penafsir terarah kepada sesuatu, di mana ia mencari solusi bagi sebuah masalah. Rasio adalah sebuah kepentingan. Inilah yang menjadi tema lama asbab nuzul. Prioritas ada pada kenyataan, bukn pada teks, ada pada pertanyaan, bukan jawaban. Stimulus sudah harus ada sebelum adanya tindakan.

‌3. Sinopsis ayat tentang sebuah tema. Jika ‌seluruh ayat tentang sebuah tema sudah seluruhnya  dikumpulkan, maka kemudian rangkaian ayat itu dibaca secara simultan dan dipahami bersama beberapa kali sampai arah besar dari keseluruhan ayat-ayat itu muncul. Yang ditafsirkan dari al-Quran bukanlah Quran suci-nya, akan tetapi leksikon al-Quran, al-mu'jam al-mufahras. Al-Quran yang sudah diedit berdasarkan tema-tema dalam urutan abjad berdasarkan kata kerja, kata benda, atau artikel.

‌4. Ada beberapa klasifikasi bentuk-bentuk linguistik, di mana tampilan pertama makna adalah bentuk linguistiknya. Di sinilah metode content analysis (analisis isi)menvoba menganalisisnya. Bahasa sebagai sebentuk pemikiran adalah benang yang akan mengarahan pada makna.

a.       ‌Kata kerja dan kata benda. Kata kerja mengisyaratkan pada sebuah aksi, perbuatan, sedangkan kata benda mengindikasikan sebuah substansi. Tauhid, misalnya, prinsip pertama dalam rukun Islam, adalah sebuah kata benda yang dibentuk dari kata kerja. Jadi, tauhid itu bukan bentuk kata kerja wahhada (mengesakan) ataupun substansinya wāḥid (satu), yang mana tauhid bermakna sebagai sebuah proses, aktifitas, dari aksi menuju ada.

b.      Waktu kerja. Masa kini, masa lalu, dan masa mendatang mengindikasikan pada kisah atau naratif, deskripsi faktual dan masa depan yang sebentar lagi terjadi. Realitas yang dipersamakan dengan kebenaran diekspresikan dalam riga bentuk waktu untuk menandai kekuatan permanensi kebenaran dalam permanensi waktu.

c.       Angka. Kata benda ditunjukkan dalam bentuk jamak atau tunggal. Bentuk tunggal (singular) menandai sesuatu yang bersifat indivisual, seperti kesadaran (syu’ūr), sementara bentuk jamak menunjukkan sifat kolektif dan kelompok sosial, seperti manusia, atau umat.

d.      Kata sifat posesif. Kata sifat posesif dapat berbentuk kata ganti (pronoun) atau kata sambung relatif. Kata benda tanpa kata sifat posesif tidak dapat dimiliki, atau dipersonalisasi, seperti langit dan bumi. Kata ganti dapat berbentuk orang pertama, orang kedua, komunikan dalam dialog, atau orang ketiga yang tidak hadir.

e.       Vokalisasi. Kata benda bisa bersifat normatif, yang mengindikasikan aksi dari sebab efisien, yaitu subyek; akusatif yang menandai obyek, datif yang merujuk pada rentang hubungan antara subyek dan obyeknya.

f.       Definisi. Kata benda dapat bersifat definitif atau non-definitif. Definitif dapat dikenal dengan bentuk tunggal sementara yang non-definitif merujuk pada kolektifitas. Yang pertama menunjuk pada hal partikular, sedangkan yang kedua menunjuk pada hal yang bersifat umum.  

5. Membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi orientasi makna, mufassir mencoba membentuk struktur benda, beranjak dari makna menuju obyeknya, dari noesis menuju noema. Makna dan objeknya adalah satu hal, dua aspek dari internasionalitas yang sama. Makna adalah obyek subyektif, sedangkan obyek merupakan subyek objektif. Keduanya saling terkait dengan kesadaran yang sama.

‌6. menganalisis situasi faktual, setelah membangun tema dalam sebuah struktur ideal, mufassir beralih ke realitas faktual tentang kemiskinan, ketertindasan, hak asasi manusia, kekuasaan, dan kekayaan agar mengetahui secara kuantutatif berdasarkan statistik komponen nyata situasi, sebab-sebab dari fenomena dan faktor-faktor perubahan dengan presisi yang maksimal menggunakan angka-angka dan diagram, seperti dalam ilmu sosial dan budaya. Diagnostik sosial terhadap realitas adalah cara lain untuk memahami makna melalui dinamika teks dalam dunia eksternal.

7. Perbandingan antara yang ideal dan yang nyata. Setelah membangun struktur, menyajikan tema kualitatif, menganalisis situasi faktual, dan memberikan status kuantitatif tema sebagai sebuah fenomena sosio-historis, mufassir menggambarkan perbandingan antara struktur ideal, diambilkan dari analisis isi dari teks, dan situasi faktual yang disimpulkan dari data-data statistik dan ilmu-ilmu sosial. Seorang mufassir hidup di antara teks dan realitas, antara yang ideal dan yang nyata, antara das Sein-Sollen dan das Sein, dalam istilah Hegel antara Yang Ada dan Ketiadaan (Nothingness), muncullah becoming (menjadi).

8. Deskripsi tentang model-model aksi. Ketika pada suatu saat jarak dilihat antara dunia ideal dan dunia real, antara kerajaan langit dan kerajaan bumi, aksi muncul sebagai sebuah langkah baru dalam proses interpretasi. Mufassir sendiri beralih dari teks ke aksi, dari teori ke praktek, dari pemahaman menuju perubahan. Logos dan praxis bertemu dalam menjembatani kesenjangana antara yang ideal dan yang nyata, dengan cara menemukan alat komunikasi antara dua dunia, mengadaptasi yang ideal agar lebih dekat kepada kenyataan, dan merubah yang nyata lebih dekat menuju yang ideal. Langkah-langkah bertahap, waktu, dan upaya-upaya yang mengkombiansikan keduanya diperlukan, tanpa melewatkan langkah-langkah atau menggunakan upaya kekerasan. Perwujudan sempurna dari yang ideal dan idealisasi yang nyata merupakan proses alamiah akal dan alam.[11]

‌Contoh Penafsiran Tematik

Hasan Hanafi dalam bukunya Islam in the Modern World: Ideology and Development[12] membeberkan beberapa contoh penafsiran tematik, seperti tentang manusia (insān) dan harta (māl). Dalam dua contoh penafsiran secara tematik tersebut, analisis tematik atau lebih tepatnya penarikan kesimpulan secara generatif lebih banyak dilakukan dengan cara menelaah berapa banyak kata-kata itu dipakai di dalam al-Qur’an, lalu jumlah yang lebih dominan dinyatakan sebagai kecenderungan yang lebih umum dibandingkan dengan lafaz yang lebih sedikit dipakai.

Menurutnya, dalam contoh penafsiran tematik tentang lafaz insān, Hassan Hanafi menegaskan bahwa lafaz insān disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali dalam bentuk tunggal yang mengindikasikan individualitas, 6 kali disebutkan dengan istilah unās yang berarti kelompok manusia, sekali disebut dengan lafaz ins yang berarti umat manusia dalam bentuk tunggal, dan sekali disebut dengan kata sifat yang diderivasi dari kata kerja musta’nas yang bermakna kedekatan. Sedangkan ditilik dari substansinya, ada sekitar 5 orientasi makna yang didapatkan dari lafaz-lafaz yang menyebut manusia dalam al-Qur’an: (1) manusia diciptakan dari tiada (ex nihilo), sehingga hal ini dinyatakannya sebagai sebuah pengalaman ketiadaan, seperti yang dieskpresikan oleh filsuf eksistensialis masa kini. Bentukan ini disebutkan sebanyak 12 kali di dalam al-Qur’an. Diantaranya, manusia diciptakan dari tanah liat, air mani, atau ada juga yang menerangkan bahwa ia diciptakan dari ilmu. Di sini, ilmu dipahami sebagai pondasi nyata dari yang ada, ketika ilmu juga diekspresikan ke dalam bahasa.

(2) Manusia adalah sebuah struktur psikologis, di mana 33 kali penyebutannya di dalam al-Qur’an memberi bukti bahwa aspek psikologis dianggap lebih penting dibandingkan dengan asal usulnya secara jasmani. Dalam hal ini manusia digambarkan sebagai makhluk yang lemah, mudah patah, tergesa-gesa, tidak peduli dengan waktu, penuh rasa takut, termotivasi dan bahkan sangat tergerak oleh nafsunya. Dalam kondisi psikologis yang lain, manusia digambarkan sebagai peminta pertolongan kepada Tuhan pada saat menghadapi kondisi krisis, tetapi ketika krisis sudah bisa terlewati, maka umumnya manusia akan lupa dengan Tuhannya. Manusia itu sedih dan gembira, penuh harap sekaligus dipenuhi dengan kekhawatiran, datang dan pergi, dermawan tapi juga kikir, kuat tetapi juga lemah, rentan sekaligus kuat hati, juga mudah ingat dan mudah lupa. Itulah beberapa gambaran sikap manusia secara psikologis seperti digabarkan di dalam al-Qur’an.  

Secara pergaulan sosial, manusia bisa saja menjadi musuh bagi sesamanya. Ia bisa menjadi diktator, bersifat sombong, tak bermoral, lupa diri, dan penuh keraguan. (3) Manusia ditantang oleh musuh yang tidak menyadari pentingnya nilai dan tidak mengakui potensi dan ketinggian statusnya. Dengan menanggapi tantangan tersebut maka akan muncullah keunggulan manusia. Penantangnya tentu saja tidak selalu sepenuhnya bersifat pribadi, tetapi bisa jadi dari seluruh lingkungan sosial politik di mana ia hidup. (4) Manusia adalah makhluk yang diberikan tanggung jawab, memiliki tugas yang harus ditunaikan di atas bumi. Berpegang pada tanggung jawab ini manusia akan menjadi lebih kuat dari dari langit, bumi dan gunung-gunung. Hidupnya merupakan perjuangan, sedangkan keberadaannya adalah ujian, sebuah ujian penentuan di mana ia bisa lulus atau bisa juga gagal sama sekali. (5) Keunggulan manusia terletak pada keberhasilannya dalam merubah kelemahan menjadi kekuatan, kekurangan menjadi kesempurnaan. Manusia itu menyendiri, ia bertanggung-jawab secara individu. Akan tetapi, ia memiliki satu ikatan, bukan dengan Tuhan, tetapi dengan kedua orang tuanya.[13] Dari lima macam penafsiran tentang manusia, dapat dilihat bahwa Hassan Hanafi melakukan analisis tematik didasarkan pada varian diskursus yang ditemukan di dalam al-Qur’an berkenaan dengan manusia, di mana setiap karakteristik khusus yang menandainya diklasifikasikan ke dalam aspek-aspek yang menandainya.

Dalam contoh penafsiran tematik tentang harta (māl), Hassan Hanafi menegaskan bahwa harta di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiah, tetapi kekayaan atau kepemilikan secara umum. Mengenai bentuk-bentuk linguistik, kata māl disebutkan sebanyak 86 kali di dalam al-Qur’an. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang lain, jumlah itu lebih banyak disebutkan dibandingkan dengan kata nabī (80 kali) atau waḥy (78 kali). Menurutnya, harta terkadang disebut sebagai kata benda (32 kali), dan lainnya disebut sebagai kata sifat milik (54 kali), yang menandai bahwa māl dapat berada di luar kepemilikan pribadi. Kepemilikan adalah link yang menyambungkan manusia dengan kekayaan, fungsinya, simpanan, hubungan dan investasi. Kekayaan tidak dapat dimonopoli atau disimpan sebagai cadangan. Secara etimologis, māl bukanlah kata benda, tetapi kata ganti relatif yang dikaitkan dengan proposisi , yang berarti apa untuk saya. Kata māl disebutkan dalam bentuk indefinite sebanyak 17 kali, sedangkan dalam bentuk definitif sebanyak 15 kali, yang bisa berarti bahwa harta dapat berarti sesuatu yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Definisi yang dibuat  oleh artikel definitif atau oleh kata hubung yang menjadikannya kata sifat pemilik. Kata ini disebutkan dalam bentuk tunggal māl sebanyak 18 kali, sedangkan dalam bentuk jamak amwāl 14 kali, yang berarti bahwa prioritas berada pada kekayaan individual daripada kekayaan akumulatif. Dari contoh penafsiran di atas, nampak bahwa analisis tematik dalam menafsirkan harta dapat diambilkan dari bentuk-bentuk linguistiknya, sehingga kemudian bentuk-bentuk itu dibandingkan secara kuantitatif untuk mencari kecenderungan dominan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, sehingga dari kecenderungan dominan tersebut dapat dicarikan indikasinya.

 



[1] Hassan Hanafi melontarkan beberapa pertanyaan seputar apakah umat Islam memiliki teori penafsiran? Manakah yang lebih dulu muncul teori penafsiran atau metode analisis pengalaman hidup? Atau kembali ke sumber atau kembali ke alam? Semuanya dilontarkan dalam kumpulan isu-isu kontemporer yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr al-Arabī Kairo, volume 1 halaman 175-8 sebagaimana dinukilkan dalam Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 487.

[2] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 493.

[3] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 493.

[4] Abduh, Tafsir Juz’ ‘Amma, Kairo: Matba’ah Maṣr, 1341 H.

[5] Abduh dan Rasyid Rida, “Tafsir Surah al-Fatihah” dalam al-Manar, Kairo: 1353 H.

[6] Rasyid Riḍā, Tafsīr al-Manār, Kairo: 1346 H.

[7] Muhammad Musṭafā al-Maraghī, Durūs al-Dīniyyah, Kairo: Maṭba’ah al-Azhar, 1356 H.

[8] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 495.

[9] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 495.

[10]Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, h. 496.

[11] Hassan Hanafi, Les Methodes d’exegese. Kairo: Impremerie National, 1965, h. 309-321, dalam Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 497-500.

[12] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal.503-507.

[13] Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Daar Keeba, 2000, hal. 503-4.

Comments