Teori Penafsiran Tematik ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-2017)
Kilasan Riwayat Hidup‘Abd al-Ḥayy Hussein al-Farmāwī lahir pada tahun 1942 di desa Kafr Tablouha, distrik Tala, propinsi Menoufia, Mesir. Pendidikan awalnya dimulai di salah satu kuttāb di desanya. Setelah berhasil menamatkan hafalan untuk seluruh al-Qur’an, ia kemudian mendaftar pada jenjang pendidikan dasar di Ahmadi Institute, Tanta, pada tahun 1955. Selanjutnya setelah menamatkan pendidikan menengah atas di tahun 1965, ia mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar di Assiut, dan lulus sebagai sarjana jurusan Tafsir Hadits pada tahun 1969. Ia kemudian bekerja sebagai staff pembantu di universitas sambil melanjutkan program master di bidang tafsir dan ulum al-Qur’an yang diselesaikannya pada tahun 1972, dan setelah itu ia diangkat menjadi asisten dosen. Ketika ia menyelesaikan program doktor di bidang tafsir dan ulum al-Qur’an pada tahun 1975, maka barulah ia diangkat sebagai dosen penuh. Ia kemudian dipromosikan untuk jabatan asisten professor pada tahun 1980, dan baru diangkat sebagai professor penuh sejak tahun 1985 hingga akhir hidupnya. Ia wafat pada dinihari Jumat tanggal 12 Mei 2017, meninggalkan empat anak perempuan dan dua orang anak lelaki. Dalam perkembangan karirnya, jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya adalah sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadits di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar di Kairo, anggota Lajnah al-Ilmiyyah al-da’imah yang bertugas mempromosikan jabatan profesor di Universitas al-Azhar, anggota senat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo, anggota Komisi Pengembangan Kurikulum Universitas-universitas Islam dalam Asosiasi Universitas Islam, Sekretaris Jenderal pada anggota klub fakultas di Universitas Al-Azhar, Penasihat Agama Federasi Organisasi Mahasiswa Negara Islam, Anggota Dewan Tertinggi Urusan Islam (Mesir), Anggota Majelis Rakyat Republik Arab Mesir, dan Anggota Dewan Tertinggi Orangtua dan Guru di Al-Azhar Al-Sharif. Sementara itu, beberapa rihlah ilmiyah yang dilakukannya antara lain sabbatical leave selama dua periode di Universitas Umm al-Qura, Makkah selama empat tahun antara tahun 1978-1982; dan enam tahun antara tahun 1995-2000; serta menjadi profesor tamu (visiting professor) untuk masa selama tiga bulan pada tahun 1992 di Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Madinah.[1] Karya-karya FarmāwīTercatat sedikitnya ada tiga puluh judul karya yang ditulis oleh Farmāwī dalam rentang kajian Islam kontemporer. Berikut adalah daftar nama-nama karya itu.
Dari judul-judul karya di atas, nampak bahwa perhatian utama Farmāwī berada dalam disiplin ilmu al-Qur’an dan tafsīr, meskipun juga didapati karya-karya populer Islam dan karya-karya di bidang dakwah dan hukum Islam, juga tasawwuf. Terkait dengan bahasan tafsir tematik, ada dua dari karyanya yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini yaitu, (1) Al-bidāyah fī al-tafsīr al-mawḍū’ī dan (2) mawsū’ah al-tafsīr al-mawḍū’ī. Al-Bidayah ditulis selepas ia lulus program doktor dan kemudian diangkat menjadi dosen secara penuh di universitas al-Azhar. Sementara itu, tidak ada informasi yang menerangkan tentang karya yang kedua, yang nampaknya hanya merupakan koleksi karya-karya yang dapat dikategorikan sebagai karya penafsiran tematik al-Qur’an. Kebutuhan terhadap Tafsir TematikDalam kata pengantar bukunya yang berjudul al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī [2] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī menegaskan arti penting predikat al-Qur’an sebagai mukjizat akhir zaman. Baginya, al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari aspek kemukjizatan yang melekat pada kandungan kalamnya, sehingga menurutnya ketika al-Qur’an diyakini benar-benar sebagai kalām Allāh yang mengandung i’jāz atau mu‘jizat,[3] maka turunnya al-Qur’an dimaknai sebagai alat ajaib (adāt i’jāz atau miracle tool) yang diharapkan dapat mengubah persepsi kelompok orang yang menolaknya. Baginya, tujuan utama turunnya al-Qur’an adalah penerapan fungsinya sebagai wasilah bagi tercapainya petunjuk (hidāyah) baik bagi mereka yang menginkari maupun yang mengimani ayat-ayatnya.[4] Fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk inilah yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam merumuskan pemikirannya tentang perlunya sebuah metode baru penafsiran al-Qur’an yang disebut dengan tafsir tematik atau tafsīr mauḍū’ī yang cikal bakal gagasannya sudah mulai menggema sejak dekade 1960-an di Mesir.[5] Karakter yang melekat sebagai ciri utama petunjuk al-Qur’an digarisbawahi oleh al-Farmawī sebagai petunjuk yang bersifat universal, yang mana relevansinya berlaku sepanjang masa. Dengan kata lain, al-Qur’an itu relevan untuk waktu dan tempat manapun (ṣāliḥ li kulli zamān wa al-makān).[6] Farmāwī menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa lampau maupun mereka yang akan hidup di masa akan datang, baik mereka yang hidup di belahan bumi bagian timur maupun barat. Karakter universal petunjuk al-Qur’an inilah yang merupakan alasan utama perlunya upaya pengkajian al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an harus bisa difahami agar petunjuk yang dikandungnya bisa diamalkan. Dengan kualitas amaliah yang muncul dari pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur’an inilah maka seseorang dapat mencapai kualitas ibadah yang baik di sisi Allah SWT yang menjadi wasilah baginya dalam mencapai keridhaan Allah SWT. Sampai di sini, ilmu tafsir secara generik merupakan wahana dalam memahami maksud dan kehendak Allah –tentu sesuai dengan kadar kemampuan para mufassirnya— terhadap semua aspek yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya.[7] Bagi Farmāwī, arti penting metode tafsir tematik atau tafsīr mawḍū‘ī dalam ilmu tafsir adalah bagian dari upaya untuk mencarikan relevansi antara esensi syariah dengan persolan-persoalan kemasyarakatan, seperti hubungan erat antara ketetapan-ketetapan syariah yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dengan aturan-aturan di bidang politik, sosial, militer maupun etika. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an senantiasa berada di tengah-tengah kebutuhan manusia di dalam menyikapi persolan hidup. Di sini, al-Qur’an menawarkan hikmah dan petunjuk yang jelas, baik terhadap problematika individu maupun persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, al-Qur’an menyajikan banyak pokok bahasan yang perlu dibahas secara tematis metodologis ketika beberapa fakta terkait dengan relevansi keberlakuan ayat-ayatnya yang diyakini akan senantiasa sejalan dengan perubahan ruang dan waktu yang berlangsung terus menerus.[8] Temuan seputar tema-tema pokok al-Qur’an ini, menurut Farmawī, tidak bisa mengandalkan karya-karya tafsir yang dihasilkan melalui metode penafsiran yang lazim dilakukan selama ini. Menurutnya, karya-karya besar ulama tafsir telah menjadi kumpulan koleksi dari sekian banyak pendekatan baik secara panjang lebar maupun ringkas yang umumnya hanya menyajikan pembahasan seputar aliran teologis, penjelasan seputar pandangan-pandangan skolastik tertentu, bahkan sebahagian menyajikan analisis sastra, pembahasan grammatikal, ataupun kupasan-kupasan yang bersifat legalistik. Masih menurutnya, hingga dekade 1970-an sangat sulit menemukan tafsir al-Qur’an yang menyajikan pembahasan secara tematik secara khusus. Padahal, metode tematik inilah yang menyajikan ulasan-ulasan tentang aspek-aspek syariat dalam kaitannya dengan persoalan hidup yang dihadapi masyarakat. Bahkan, selain pertimbangan bahwa al-Quran itu selalu relevan dengan ruang dan waktu yang terus berubah, ditegaskan pula oleh Farmawi bahwa aneka ragam petunjuk al-Qur’an bukanlah sekedar teori yang sama sekali tidak bersentuhan dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan individu maupun kenyataan sosial. Kebutuhan terhadap metode tafsir tematik merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan temuan ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat generik yang bersumber dari al-Qur’an bagi masyarakat Islam dalam bentuk materi perundangan dan aturan-aturan hukum yang telah dibahas secara ilmiah, mudah dicerna dan bermanfaat . Dengan begitu temuan-temuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan, dan kemudian kaidah-kaidahnya dapat diterapkan secara pragmatis dalam menyusun legislasi yang bersifat umum.[9] Manfaat Kajian Tematik al-Qur’anBeberapa manfaat yang bisa diambil dari penerapan metode tematik ini, menurut Farmāwī, di antaranya adalah (1) dapat mengetahui lingkup bahasan secara menyeluruh yang memungkinkan dilakukannya penjelasan bagi khalayak banyak tentang ketetapan-ketetapan hukum melalui metodologi yang jelas dan cukup meyakinkan; (2) begitu juga penjabarannya dalam menyingkap rahasia-rahasia yang menyelimutinya pada tingkat yang bisa menyenangkan hati dan pikiran mereka hingga sampai kepada taraf keadilan Tuhan Yang Maha Bijaksana dan rahmat yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya melalui ketentuan-ketentuan syariat yang ditetapkan bagi mereka. (3)Tafsir tematik juga memberi bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan untuk bisa sampai kepada petunjuk al-Qur’an tanpa perlu berlelah-lelah menelaah berbagai macam kitab tafsir yang masing-masing penjelasannya dipenuhi dengan uraian grammatikal maupun kupasan hukum secara panjang lebar. (4) Tafsir tematik juga dapat mencegah munculnya kontradiksi akibat pengaruh buruk ideologi yang mengotori pemikiran keagamaan masa kini.[10] Dari semua pertimbangan di atas, Farmāwi menilai bahwa tafsir tematik merupakan salah satu upaya pembaruan gaya (uslūb) dakwah Islam yang perlu dilakukan dan diberikan perhatian, serta digalakkan dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak bagi perkembangan pemikiran ilmiah Islam yang berkembang di paruh akhir dekade 1970-an ketika ia menerbitkan bukunya pada pekan pertama bulan Muharram 1397 Hijriyah, bertepatan dg pekan terakhir di bulan Desember tahun 1976. Atas pertimbangan itu pula ia memberi judul al-bidayah, yang berarti “permulaan” terhadap kajian metodologi tafsir tematik ini.[11] Apa itu Tafsir Mauḍū’ī?Farmāwī menempatkan tafsir tematik sebagai salah atau metode (manhaj) dari tafsir yang empat: taḥlīlī, ijmalī, muqāran dan maudū'ī. Apa yang sudah dikerjakan oleh para ulama tafsir dalam perkembangan disiplin ilmu ini sejak masa klasik Islam belumlah dapat dikatakan memenuhi prinsip-prinsip penafsiran tematik. Farmawi mencontohkan beberapa prinsip dalam penafsiran tematik seperti pertama: upaya-upaya untuk mengumpulkan ayat-ayat Qur'an yg memiliki tema tertentu dan memiliki tujuan yang sama, meski waktu turunnya ayat-ayat itu beragam.[12] Kedua, ayat-ayat yang dibahas dikumpulkan dan diurutkan berdasarkan waktu turunnya terlebih dahulu untuk menggali ragam tema yang dikandungnya, sehingga bisa menghindari pengulangan-pengulangan yang sering terjadi di dalam al-Qur’an. Ketiga, para ulama menurutnya belum dapat mengupas sisi pandangan universal dari sebuah surah Qur'an juga masih kurang dilakukan oleh para ulama hingga kini. Upaya ini dalam tafsir tematik ditujukan untuk menggali maksud dan tujuan utama diturunkannya surah tersebut, sehingga kemudian ditemukan tujuan generiknya dengan saling mengaitkan ayat-ayatnya satu sama lain. Dengan begitu, akan nampak bahwa surah tersebut benar benar menampilkan suatu bentuk yang sempurna dan saling berjalinan antar ayat-ayatnya secara general. Keempat, dalam upaya yang terakhir ini, perbincangan terhadap satu surah sama seperti perbincangan terhadap seluruh al-Qur’an, disertai dengan penjelasan tujuan-tujuan umum dan tujuan khusus dari surah itu, begitu juga dalam membincangkan isi surah itu beserta jalinan kait mengkait antara satu tema dengan tema yang lain, sehingga akan nampak bahwa surah itu memiliki kedalaman yang menyeluruh dan juga hikmah.[13] Namun begitu, ia menemukan hanya sedikit saja di antara ulama tafsir masa lalu hingga kini yang sudah menempuh prosedur penafsiran dalam kerangka kerja prinsipal yang mengarah pada penafsiran yang diinginkan secara tematis ini. Orang pertama pada abad pertengahan yang mengupayakan hal di atas adalah Fakhr al-Dīn al-Rāzī.[14] Sedangkan di masa kini upaya-upaya tersbut sudah dapat dilihat dalam karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi yang berjudul al-Tafsir al-Wadih.[15] Sementara itu, beberapa prinsip penafsiran yang bercorak tematik juga didapati dalam karya al-Syāṭibī al-Muwāfaqāt,[16] di mana ia menulis, "Sesungguhnya satu surah seolah menampakkan isu yg beragam meski sebenarnya itu merupakan satu isu saja. Yang ditujukan kepada satu tujuan atau setidaknya mengarah pada satu keumuman meski mengandung beragam makna.”[17] Menurut Farmawi, upaya mengumpulkan ayat ayat yg berada dalam sebuah makna yang kemudian disatukan dalam sebuah tema dan kemudian menafsirkannya secara tematis metodologis ini merupakan upaya metode baru di fakultas Ushuluddin. Ragam Tafsir Mawḍū’īFarmāwī membagi dua macam tafsir maudu'i: (1). Tafsir Mawḍū’ī dalam bentuk diskursus yang membahas satu surah secara integral dengan menjelaskan tujuan-tujuan umum dan khusus yang dikandungnya, mengungkap isi kandungan ayat-ayatnya dan menyertakan penjelasan tematik yang ada di dalamnya, dibahas satu persatu, sehingga dari surah tersebut kemudian dapat digali secara mendalam dan menyeluruh serta apa yang dikandung dari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Farmawi memberi contoh jenis ini dengan penafsiran QS Saba'. Menurutnya, surah ini dimulai dengan pujian kepada Allah yang dapat ditarik ke dalam bentuk-bentuk pengajaran (tarbiyyah) secara mutlak, ketika semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai penguasa semesta (al-Malik) yang berwenang memelihara alam secara bijak, dan mengatur semua makhluk seperti ditunjukkan dalam QS Saba' 1-2. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan ayat-ayat seputar pembahasan tentang ilmu secara menyeluruh, kekuasaan yang efektif, dan juga kehendak dari Dzat Yang Maha Bijaksana.[18] Dari rangkaian tema-tema itulah nampak sebuah kesatuan diskursus dalam surah yg tengah dibahas. (2). Tafsīr Mawḍū’ī dalam bentuk upaya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang bernaung di bawah sebuah tema khusus, kemudian mufassir menempatkan ayat-ayat tersebut di bawah satu judul tertentu, lalu ia menafsirkan ayat-ayat itu secara penjelasan tematik. Para ulama kontemporer menerapkan bahwa ayat-ayat yang dikumpulkan haruslah memiliki kesatuan tujuan dan berserikat dalam sebuah tema tertentu. Lalu dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, mufassir mengawalinya dengan mengurutkannya secara tertib nuzul, hingga taraf yang memungkinkan baginya untuk bersandar pada asbab nuzul yang dimiliki sebagai konteks turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian, dilakukan upaya menjelaskan ayat-ayat itu dengan mencarikan hubungan saling mengkait dan juga dengan cara menarik ketetapan hokum yang dikandungnya, dan kemudian membahasnya secara khusus tematik metodologis dengan cara meninjaunya dari berbagai aspek melalui timbangan kritik disiplin ilmu terkait, di mana mufassir mengarahkan pada tercapainya hakikat yang diinginkan, untuk disampaikan pada tujuannya secara mudah dengan cakupan yang terintegrasi. Dengan demikina, dimungkinkan bagi pembaca untuk memahami cakupannya secara eksternal dan juga menganalisis aspek-aspek keterpisahannya.[19] Untuk ragam tafsir tematik yang kedua ini, Farmawi menegaskan bahwa ada banyak tema yang dikandung al-Quran dan menunjukkan bagaimana al-Quran memiliki relevansi dengan ruang dan waktu yang selalu berubah. Ia mencontohkan tema-tema seperti: ayat-ayat yang menerangkan keberadaan Tuhan, ataupun teologi monotheisme. Menurutnya tema-tema itu ditunjukkan dalam ayat yang sangat banyak di dalam surah surah Makkiyah, begitu juga akan didapati dalam ayat-ayat Madaniyah.[20] Contoh lain yang disebutkannya adalah tema pembahasan tentang riba.[21] Menurut Farmāwī, meskipun memiliki dua macam warna yang berbeda, namun tafsir mawḍū’ī yang berbasis pada ulasan tematik dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait menandai karakter yang paling dikenal di benak para pemerhati kajian al-Qur’an.[22] Perkembangan tafsir tematikCikal bakal perkembangan tafsir tematik yang berupaya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan kesamaan persoalan dan pembahasan sebenarnya sudah dapat dilihat dalam perkembangan tafsir masa klasik dan abad pertengahan Islam. Farmāwī menyebutkan upaya pengumpulan ayat ayat yang memiliki pembahasan serupa dalam karya-karya tafsīr bil ma'tsūr. Ia mengatakan bahwa setiap temuan tentang tafsīr Qur'ān bil Qur’ān ---yaitu, menjelaskan makna ayat dengan ayat al-Qur’an lain yang merupakan bagian dari upaya penafsiran secara ma'tsur--- merupakan bagian dari penafsiran secara tematik.[23] Farmāwī memberi contoh lain, seperti penyusun karya Asbāb Nuzūl (yaitu, Abū ‘Alī al-Wahidi)[24] atau karya-karya di bidang nasikh mansukh (seperti Abū Ja’far al-Nuhhās), atau karya-karya yang membahas tentang majāz al-Qur’ān (seperti karya Abū Ubaidah, w. 209 H),[25] atau seperti karya al-Rāghib al-Isfahāni al-Mufradāt al-Qur’an, dan karya-karya yang membahas tafsīr ahkām (seperti karya al-Jaṣṣāṣ)[26] mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan indikasi dan berkenaan dengan sebab khusus tertentu, atau ayat-ayat yang di-mansukh dengan menyebutkan ayat-ayat yang me-nasikh-nya, atau bahkan lafaz-lafaz yang mengandung majaz yang ada di dalam al-Qur’ān. Di sinilah benih-benih penafsiran tematik sebenarnya ditemukan di dalam turats perkembangan tafsir pada masa lampau, meskipun semua itu tidak ditujukan untuk membentuk sebuah metode khusus tersendiri secara tematik.[27] Namun begitu, Farmāwī menganggap metodologi penafsiran tematik sebagai sebuah metode baru. Yaitu, baru dalam arti bahwa ketertarikan para peneliti dan juga pemerhati kajian al-Qur’an pada masa klasik dan abad pertengahan Isalm belum mmberikan perhatian mereka secara khusus yang kenudian memunculkannya sebagai sebuah metodologi tersendiri.[28] Beberapa faktor yang menyebabkan metode tafsir tematik tidak didapati pada masa klasik dan abad pertengahan adalah di antaranya karena para mufassir kala itu cenderung memakai metode tafsir taḥlīlī (terperinci) ataupun tafsir ijmalī (ringkas) dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kronologi mushaf, menafsirkan ayat demi ayat, dan surah demi surah dari awal hingga akhir. Hal ini ditunjang dengan umumnya kecenderungan iklim keilmuan masa lalu masih terpusat dalam mengungkapkan makna dan rahasia kandungan al-Qur’an, di mana jenis-jenis tafsir berbeda-beda tergantung pada jenis pengetahuan yang dikuasai oleh masing-masing penafsirnya. Ada dua sebab khusus yang dicatat oleh Farmāwī tentang ketiadaan kecenderungan tematik pada tafsir masa lalu: (1) Pada masa lalu belum muncul aliran khusus yang membahas tema khusus dengan mengumpulkan ayat-ayat terkait.[29] (2) Kebutuhan keilmuan pada masa lalu belum terlalu mendesak terhadap metodologi yang mendasarkan pemaparan secara metodologi tematik. Beberapa alasan yang mendasari adalah karena kebanyakan ahli al-Qur’an adalah mereka yang hafal seluruh ayat-ayat al-Qur’ān, begitupun dengan sifat kajian yang cenderung bersifat integratif dan mendalam. Dengan kata lain, sebab utama yang menyebabkan munculnya pendekatan pada kurun sekitar tiga hingga empat dekade lalu adalah lantaran kurangnya para penghafal al-Qur’an dari generasi penerus umat Islam, ditambah dengan kesulitan yang mereka hadapi akibat posisi kajian al-Qur’an yang cenderung marginal dan dipengaruhi faktor-faktor seperti bahasa Arab sebagai bahasa asing, atau bahkan para pengkaji al-Qur’an yang berasal dari kalangan non-Muslim.[30] [1] Untuk detil beberapa penjelasan mendetil yang lebih lengkap tentang riwayat hidupnya, seperti tentang pengalaman berceramah, konferensi inetrnasional yang diikuti, serta hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas kegiatan menulisnya di media massa Mesir, lihat https://ar.m.wikipedia.org/wiki/عبد_الحي_الفرماوي [2] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī dirāsah manhajiyyah mawḍū’iyyah, al-Fajjālah, Kairo: Matṭba’ah al-Ḥaḍārah al-‘Arabiyyah, cet. 2, 1977. [3] I’jāz diartikan sebagai ditampakkannya kebenaran Nabi Muhammad SAW dalam dakwah risalah yang diembannya dengan semakin jelasnya kelemahan orang-orang Arab yang tidak mampu melawan Nabi Muhammad terhadap mukjizat kekal yang diterimanya ---yakni al-Qur’an--- dan juga generasi penerus mereka tidak akan mampu menandinginya pula. Mu’jizat adalah hal di luar kebiasaan yang disertai dengan tantangan yang tidak mungkin ditandingi. Lihat Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥits fī ‘ulūm al-Qur’ān, Riyāḍ: Mansyūrāṭ al-‘aṣr al-ḥadīts, 1973, h. 258-9. [4] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī…, h. 3. [5] Periodisasi ini mengacu pada pemikiran Aisyah ‘Abd al-Raḥmān Bint Syāṭi’ yang menandai munculnya diskursus paling awal dari kecenderungan tematik dalam penafsiran al-Qur’an dalam karyanya, .... dst. [6] Lihat ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 4. [7] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 3. [8] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī…, h. 3-4. [9] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 5. [10] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 5-6. Untuk ulasan yang disebut terakhir Farmāwī memberi contoh seperti ideologi komunisme yang dianggapnya telah mencukur habis dimensi kemanusiaan dengan pemikiran yang menyesatkan danjauh dari nilai tauhid (ilḥād). [11] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 6-7. [12] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 49. [13] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 49. [14] Lihat Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut: Dār Iḥyā’ al-turāts al-‘Arabī, 2000, 32 vols. [15] Muḥammad Maḥmūd Ḥijāzī, Al-Tafsīr al-Wāḍiḥ, Beirut: Dār al-Jayl al-Jadīd, 1993 (cetakan ke-10); lihat ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 50. [16] Ibrāhim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmī al-Gharnatī, al-Muwāfaqāt, (ed. Abu Ubaidah Masyhūr bin Ḥasan Āl Salman, Kairo: Dār Ibn ‘Affān, 1997, 7 vols. [17] Lihat al-Syāṭibī, al-Muwafaqāt iii/249 dalam Farmawi, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 50. [18] Dalam menyajikan contoh ini, Farmāwī mengutip uraian Mahmud Syaltut, Tafsir Qur'an, h. 367; lihat ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 50-51. [19] Dalam menjelaskan teori ini, Farmāwī merujuk Dr Ali Khalil, Al-Mudzakkarat al-khattiyah, juga Dr Muhammad Mahmud Hijazi, Al wahdah Al maudu'iyyah, h. 25; Lihat ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 52. [20] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 52. [21] Baik pembahasan teologi seputar masalah tauhid maupun kajian hukum Islam seperti riba merupakan bagian dari kajian al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalam sosial, sehingga kajian tematik yang disajikan tentu memiliki maslahat secara kemasyarakatan. [22] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 52. [23] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 54. [24] Abū al-Ḥasan al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl, (ed. Iṣām bin Abd al-Muḥsin al-Ḥumaydān), Al-Damām: Dār al-Iṣlāḥ, 1992. [25] Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsannā al-Taymī al-Baṣrī, Majāz al-Qur’ān (ed. Muhamamd Fuat Sezgin), Kairo: Maktanah Khanji, 1381 H, 2 vols. [26] Aḥmad bin Ali Abu Bakr al-Rāzī al-Jaṣṣāṣ, Aḥkām al-Qur’ān (ed. Muhammad Ṣādiq al-Qamḥāwī), Beirut: Dār Iḥyā al-turāts al-‘Arabī, 1985. [27] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 56. [28] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 56. [29] Farmāwī menyitir penjelasan Dr. Ahmad Minhā, al-Insān fī al-Qur’ān al-Karīm, h. 1, dalam ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 57. [30] ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mawḍū’ī..., h. 57. |